Sharing for learn...

Jumat, 12 September 2014

Power of Perception : Reason Synthetically or Analytically

Jumat, September 12, 2014 Posted by ./rex No comments
There are fifty who can reason synthetically for one who can reason analytically (Sherlock Holmes – Study in Scarlet)

Geli rasanya ketika kita melihat banyak sekali pejuang-pejuang Islam yang membenarkan tindakannya bukan mencari sesuatu yang benar, dan sepertinya ini sudah menjadi sebuah sindrom yang mewabah akibat daripada salahnya persepsi seseorang terhadap suatu masalah. Saya tidak menulis hal ini untuk dijadikan sebagai suatu pembahasan yang tak kunjung habis dengan perdebatan yang panjang, tetapi hanya sebagai nasehat yang kalau dirasa benar silahkan diterapkan dan bila salah mohon diabaikan saja.

Betul kata tokoh imajinatif Sherlock Holmes, “There are fifty who can reason synthetically for one who can reason analytically”

Kira-kira terjemahan bebas versi Felix Siauw “Ada 50 orang yang dapat membuat alasan, dan hanya satu yang berbuat beralasan”.

Kebanyakan dari kaum muslim tanpa sadar ternyata bukan berbuat karena mereka memiliki alasan (dalil) tetapi sebaliknya mereka mencari alasan atas perbuatannya. Coba kita analisis pola-nya :

  • Suatu hari Nada berkonsultasi dengan kedua orangtuanya tentang pernikahan, dan Nada memberitahukan bahwa Ahmad calon suaminya adalah orang yang sedikit kekurangan dalam masalah materi, dasar kedua orangtuanya tidak menyukai Ahmad karena keadaan materinya lalu berbicara

    Sekarang aja dia nggak bisa menghidupi dirinya sendiri, apalagi nanti setelah nikah?! nggak usah deh!


    Nada yang kecewa lalu menasihati agar Ahmad mau memperbaiki keadaan ekonominya, lalu setahun lagi Ahmad datang dengan mobil pribadi kerumah sang calon, tetapi dasar kedua orangtuanya sudah punya persepsi negatif tentang Ahmad lalu mereka mengatakan :

    Sekarang dia memang mungkin bisa menghidupi dirinya sendiri, tapi nanti ketika menikah belum tentu!!” (capeee deh -red-)


  • Suatu hari Dewi mengajak calonnya Dewa untuk berkenalan dengan orangtuanya, dan Dewa sangat menunjukkan kesopanan dan kebaikan sebagai seprang pria, tetapi karena orangtuanya tidak suka pada Dewa orangtuanya berkata :

    Sekarang aja dia sopan, karena belum nikah, nanti kalau sudah nikah pasti keliatan sifat aslinya!


    seandainya kalo Dewa seorang pria yang urakan dan sembarangan, kira-kitra beginilah komentar orangtuanya :

    Sekarang aja udah begitu urakannya, apalagi nanti?!!! (capeee deh -red-)


  • Berbeda dengan Keluarga Fatih yang begitu memahami Islam dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup, maka ketika Aisyah mengenalkan calonnya yaitu Mahmud kepada orangtuanya, dan memperkenalkan tentang Mahmud dan aktivitas dakwahnya, serta menyampaikan pula kekurangan Mahmud dalam hal materi, maka kedua orangtuanya segera berkomentar :

    Nggak apa-apa Aisyah, lebih baik segera menikah supaya bertambah ibadahnya dan dijauhkan dari maksiat, masalah materi insya Allah akan dicukupkan oleh Allah, wong bapak-ibu nikah juga kere kok!


    ketika seminggu sebelum nikah, Mahmud berhasil dalam usahanya sehingga mendadak punya mobil pribadi, maka orangtua Aisyah berkata :

    Alhamdulillah, kamu beruntung Aisyah, Allah memudahkan calon suamimu sekarang bisa berkecukupan, apalagi nanti setelah menikah


Inilah kekuatan persepsi, Persepsilah yang menentukan perbuatan seorang manusia dan caranya menanggapi suatu peristiwa. Persepsi bisa jadi baik, bisa jadi buruk, tergantung apa yang menjadi penyusunnya. Bila penyusunnya baik, insya Allah persepsinya juga baik. Sebaliknya, bila penyusunnya salah, maka persepsinya juga terimbas kurang baik.

Terkadang saya sering bingung dan geli melihat hamba Allah yang insya Allah pejuang Islam, tetapi persepsi yang dibangun bukanlah persepsi yang benar, yaitu persepsi yang dibangun berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Kebanyakan persepsinya berasal dari retorika akal belaka minus dalil. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membahas tentang kebobrokan demokrasi, eh malah ada yang menimpali dengan kata-kata untuk melegitimasi bobroknya demokrasi :

“wajarlah mas, kita ini masih dalam proses pembelajaran demokrasi, nggak ada yang sempurna, kita masih proses belajar” (belajar sih belajar, tapi ini mah belajar terus! demokrasi gagal ancur dipertahanin padahal kalo Islam salah dikit aja pasti protesnya dari pagi ampe malem -red-)


Pernah juga saya mengkritik pernyataan seorang tokoh muslim yang mengatakan “jilbab nggak penting, pake jilbab juga nggak bisa menyelesaikan masalah ekonomi, politik dll”, dan saya sampaikan tidak pantas seorang muslim, tokoh lagi, berkata semacam ini, tetapi ternyata ada yang protes dan melegitimasi tindakan tokoh tadi dengan mengatakan:

“sesama muslim sebaiknya jangan saling menyalahkan, saya heran kenapa kita ini suka menyalahkan yang lain, orang yahudi seneng liat kita, kita hargai dong, itu kan cuma strategi, orangnya juga sering tahajud dan dzikir kok!” (loh-loh-loh, capee deh!, blame the victim nih, wong tokohnya yang omong secara sadar, kok malah gue yang disalahin hehehe.. padahal kita aja yang nggak salah jadi disalah-salahin -red-)


Ketika saya menjelaskan kembali bahwa ada beberapa yang salah dalam perbuatan seseorang, dan dalilnya sudah saya kemukakan secara jelas, tetap saja ada alasan yang bisa dibuat untuk melegitimasi perbuatannya. Benar sekali, ternyata persepsilah yang mengendalikan semuanya. Alasannya selalu akal-akal dan akal, padahal imam Ali sudah mengingatkan kepada kita bahwa pembentuk persepsi adalah dalil bukan akal

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ
Seandainya agama itu dengan akal niscaya yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah khuf daripada bagian atasnya (HR. Abu Dawud)

Masih banyak contoh lain yang kita bisa lihat bahwa seseorang menyandarkan persepsinya bukan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi dari “katanya”, “kata syaikh saya”, “kata dewan syuro saya”, “pokoknya” dan lain lain, padahal sudah jelas sekali fakta yang ada. Dan jangan-jangan kita termasuk salah satu yang sering membuat-buat alasan dengan perbuatan kita yang salah, padahal telah jelas firman Allah

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS az-Zumar [39]: 18)

Pilihannya selalu ada dua:
  • apakah kita adalah orang yang membuat-buat alasan (dalil)
  • atau kita adalah orang yang berbuat karena ada alasan (dalil)
Life is always a series of choices, make the right choice not to compromise with the kuffar!
akhukum fillah,



Source http://goo.gl/qOzxaU

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top