Umat dewasa ini mengalami kemunduran yang demikian parah-sesuatu yang tidak pernah dialami oleh umat Islam terdahulu. Secara fisik, setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani (1924), wilayah Islam yang semula terbentang sangat luas-di seluruh jazirah Arab hingga Afrika Utara bahkan sebagian Eropa sampai semenanjung Balkan, sebagian Asia selatan, Asia Tengah, dan Asia Timur sebagian besar kalau tidak semua, dikuasi penjajahan Barat (dan timur).
Dan kini, wilayah-wilayah itu menjadi puluhan negara “merdeka” kecil-kecil. Secara intelektual umat Islam mengalami apa yang disebut Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation (peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama umat Islam secara sengaja dipisahkan dari ajaran Islam oleh pejajah. Dalam proses alienasi umat Islam dari ajaran agamanya, peracunan Barat semakin gencar berlangsung. Secara intelektual umat Islam menjadi sangat lemah, dan karenanya, bukan saja tidak mampu mengkanter sesat pikiran Barat, tetapi juga tidak mampu melakukan dialog intelektual secara seimbang.
Impotensi intelektual ini jelas bermuara pada kemunduran total di bidang politik yang terjadi semenjak tuntuhnya khilfah Utsmani. Dampaknya dirasakan amat buruk bagi pertumbuhan umat Islam lebih banyak menjadi konsumen ideologi Barat (atau Timur), serta tidak dapat melihat khazanah pemikiran Islam sendiri yang kaya raya.
Setelah perang dunia Pertama dan Kedua, dunia Islam boleh dikatakan mengalami dua tahap revolusi. Revolusi yang pertama merupakan pembebasan wilayah-wilayah Islam dari kungkungan politik dan militer Barat. Diakhiri dengan munculnya negara-negara “merdeka” seperti Mesir, Syiria, Yordania, Irak, Lybia, negara-negara teluk dan sebagainya di bekas wilayah Islam.
Setelah tahap ini, umat Islam seolah terperanjat dengan peralihan dari suasana penjajahan ke suasana kemerdekaan. Karena alienasi terhadap ajaran Islam dan peracunan Barat telah demikian lama berlangsung, maka banyak di kalangan umat Islam terutama para pemimpinnya, lantas beranggapan bahwa imitasi (peniruan) dalam segala bidang kehidupan, termasuk di bidang ideologi politik, adalah jalan keluar dari kemelut di negeri itu. Sebagian negeri Islam lantas mengambil sosialisme sebagai ideologi dan sistem sosial mereka, sebagian lagi menerapkan kapitalisme (demokrasi liberal).
Imitasi ideologis semakin menunjukkan bentuknya setelah negeri-negeri itu, dibantu para ideolog yang menimba “ilmunya” (tanda petik karena sebenarnya bukan ilmu tapi kesesatan) dari Universitas Barat, berhasil merumuskan “ideologi sendiri”, yang sebenarnya tetaplah berupa ideologi non Islam dalam wajah yang lain. Di beberapa negara, agar ideologi itu bisa diterima oleh masyarakat Islam, dilakukanlah Islamisasi ideologi. Ideologi Baath di Irak dikatakan tahap lanjut dari Islam. Akan tetapi, tetap saja upaya itu tidak mampu menyelesaikan masalah dan mengentaskan umat dari kejatuhannya.
Langkah tersebut justru menyulut konflik berkepanjangan di bidang pemikiran melawan paham Islam di kalangan umat yang memang tidak mudah begitu saja dihilangkan. Juga konflik dalam kehidupan praktis berkaitan dengan penataan kehidupan umat yang makin dirasakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Disinilah kemudian terjadi perang pemikiran (al-ghazwul al-fikriy) yang menuntut adanya revolusi tahap kedua.
Jika revolusi tahap pertama merupakan pembebasan umat dari belenggu penjajahan, maka revolusi tahap kedua adalah membangun kesadaran Islam (al-wa’yu al-Islamiy) di tengah peperangan pemikiran tadi. Yakni kembalinya identitas, khazanah dan pemikiran Islam ke dalam diri kaum muslimin, setelah terbukti imitasi terhadap ideologi Barat bukan saja gagal dari segi konsepsi, juga tidak memberikan hasil positif dari segi praktis lahir maupun batin bagi kehidupan umat Islam. Revolusi thap kedua digerakkan menuju terwujudnya kehidupan Islam sejati.
Pangkal Kemunduran Umat
Jelaslah bahwa tidak adanya kehidupan Islam dimana didalamnya diterapkan syariat Islam di semua sendi kehidupan setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani, menjadi pangkal utama kemunduran umat dewasa ini. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (dalam bukunya, Kaifa Hudimatil Khilafah) menyebut hal ini sebagai problematika umat Islam (qadhiatu al-muslimin al-mashiriah). Intinya bagaimana memberlakukan kembali hukum-hukum Allah (i’adatu al-hukmi bi ma anzala Allah) di semua sendi kehidupan.
Setelah runtuhnya payung Islam itu, bertubi-tubi umat Islam memang didera berbagai persoalan. Yang utama adalah kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu sendiri, karena semenjak tidak adanya kehidupan Islam, umat memang tidak lagi dibina keIslamannya secara praktis. Hal itu pada gilirannya menyebabkan racun-racun pemikiran sesat Barat dengan mudah merasuk ke dalam tubuh umat. Dan racun yang paling dahsyat adalah pemikiran sekulerisme.
Apa itu sekulerisme? Menurut Muhammad Qutb (Ancaman Sekulerisme,1986) sekulerisme diartikan sebagai iqomatu al-hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini (membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam)). Pemikiran sekulerisme berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan.
Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekali pun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran gereja yang dogmatis.
Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak merubah pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet, bukan bumi seperti yang didoktrinkan gereja selama ini, dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah agama (ritual), sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, saintek, ekonomi, dan sebagainya) harus steril dari agama. Inilah cikal bakal sekulerisme.
Tapi satu hal yang harus diinsyafi benar adalah, bahwa gugatan ini sebenarnya terjadi khas pada agama kristen yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Tentu sebuah keanehan besar bila gugatan itu lantas dialamatkan pula pada Islam agama yang sempurna bagi paripurna yang diridhai Allah untuk seluruh umat manusia. Dan lebih aneh lagi bila kaum muslimin ikut-ikutan menjadi sekuler.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan dunia. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syari’at dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syari’at di bidang ekonomi, sosial politik misalnya. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.
Bila Islam tidak lagi dijadikan sebagai asas pengaturan struktur kehidupan masyarakat (siyasiy),
maka sebagai gantinya, muncullah asas-asas lain yang mengatur berbagai bidang kehidupan umat. Diantaranya :
1. Kapitalisme di bidang ekonomi
Hampir seluruh negara di dunia, terlebih setelah rutuhnya sosialisme-komunisme Uni Sovyet, menganut paham kapitalisme sebagai sistem ekonominya. Dari segi praktis, kapitalisme memang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi ternyata gagal dalam pemerataan.
Sistem kapitalisme juga telah menyeret umat pada pola “asas manfaat”. Asas ni mengajarkan bahwa yang baik adalah yang memberikan manfaat (materi dan kenikmatan jasmani), dan yang sebaliknya adalah buruk.
Nilai-nilai Islam dengan tolak ukur halal dan haram, oleh karenanya menjadi barang asing dan terasa aneh. Umat tidak lagi memperhatikan aturan Islam dalam cara memperoleh uangnya dan bagaimana membelanjakannya. Umat yang telah terbiasa bergaul dengan sistem ekonomi ribawi, tentu menjadi merasa aneh bila diserukan untuk menjauhi riba.
Demikian pula dengan suap dan komisi, sepertinya sudah menjadi bagian yang sulit dipisakan dari derap perekonomian negara. Kapitalisme telah merusak umat : fisik dan non fisik. Kehidupan hedonistik dan materialistik makin menggejala.
2. Westernisme dengna intipermsivisme di bidang budaya
Di bidang budaya, kehidupan hedonistik sebagian buah dari kehidupan yang materialistik makin menjadi ciri masyarakat. Dalam hal ini Barat seolah menjadi kiblat “kemajuan” kearah mana masyarakat harus menengok. Musik, Mode, Makanan, Film, dan Gaya Hidup Barat apalagi setelah adanya TV Swasta makin deras menggejala. Kaum muslimin yang tidak memiliki kepribadian kuat mudah sekali tercemar, dan memunculkan pribadi yang terpecah (split personality).
Ia muslim, tapi tingkah lakunya seperti artis Barat yang sering ia lihat di layar kaca. Benar, ia memang pengikut Nabi muhammad SAW., hanya saja idolanya bukan lagi Nabi tapi Bon Jovi. Dan bukan Al-Qur’an yang dihafal tapi bait-bait lagu yang diteriakkan Bon. Penampilanya juga serupa benar dengan idolanya itu. Rambutnya gondrong, celananya jeans belel, dan tak lupa anting di telinganya. Yang wanita, pakaiannya juga selalu tampak modis. Tidak peduli apakah model pakaian yang dipakai itu menutupi aurat atau tidak. Malu hati rasanya bila tidak mengikuti arus mode, dan itu tentu saja termasuk bagaimana mengatur rambut agar selalu nampak “in”.
Lantas bagaimana cara mereka bergaul? Tidak sulit. Film Melrose Place yang hadir seminggu sekali atau film lain yang serupa, telah lebih dari cukup mengajarinya. Iklan yang telah menjadi nafas kapitalisme telah pula menghembuskan budaya hedonistik dan mencitrakan gaya hidup baru. Iklan makanan coklat, atau minuman ringan seolah-olah menunjukkan begitulah kira-kira cara pergaulan remaja “modern”. Maka, jadilah ia seorang muslim dengan gaya hidup si Boy : rajin shalat, rajin juga maksiat.
3. Nasionalisme di bidang politik
Nasionalisme diartikan oleh Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Islam, 1986) sebagai “suatu keadaan pada individu di mana ia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”. Nasionalisme mengunggulkan paham kebangsaan sekaligus mensubordinasikan paham lain, termasuk aqidah Islam. Bagi seorang nasionalis, bangsa adalah segalanya, dan tidak ada yang lebih penting dari upaya meraih kejayaan bagi bangsanya. Kematian demi bangsa adalah setinggi-tinggi kemuliaan.
Paham ini sebenarnya kosong tanpa substansi sebab apa arti “cinta pada tanah air”, ”mengabdi pada bangsa dan negara” sesungguhnya tidaklah pernah ada ia hanya merupakan dzat rekaan yang bersifat abstrak dan tentu tidak pernah memberikan manfaat atau mudharat kepada yang “mencintainya” atau pun yang “mengkhianatinya”. Tapi kendati demikian, paham ini kini telah merasuk demikian dalam pada tubuh umat dan telah menjadi biang perpecahan umat Islam seluruh dunia.
Bagi seorang muslim jelas, pengabdian hanyalah kepada Allah semata. Tidak ada pengabdian selain kepada Allah, dan ujud pengabdian itu berupa ketaatan kepada segenap perintah dan larangan-Nya. Bila segenap aktifitas hidup didedikasikan semata untuk menjalani aturan Allah, itulah yang disebut ibadah. Inilah semulia-mulia kehidupan, dan ini pula yang disebut pengabdian. Islam memang mengakui adanya keragaman suku dan bangsa.
Tapi Islam menentang keras sukuisme dan nasionalisme. Tentang ini Rasulullah SAW. Bersabda ;
“Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada ashabiyah (golongan), yang berperang atas ashabiyah, dan yang mati atas ashabiyah.”
Nasionalisme menyebabkan kaum muslimin merasa lebih terikat kepada bangsanya masing-masing daripada Islam. Ia rela keyakinan agamanya dikorbankan demi keutuhan bangsanya. Ia juga merasa lebih bersaudara dengan sebangsanya daripada dengan yang seaqidah. Penderitaan muslim Bosnia akan dirasakan sebagai persoalan bangsa Bosnia; bukan persoalan kaum muslimin. Ia lebih peka terhadap persoalan yang akan mengancam bangsanya ketimbang mengancam umat Islam.
Ia mudah saja bergaul dengan orang atau negara kafir hanya semata itu menguntungkan bangsanya, kendati negara itu menindas umat Islam. Juga teramat jelas, nasionalisme menghambat persatuan umat Islam sedunia. Dari sini bisa dimengerti mengapa umat Islam, termasuk yang berada di Timur Tengah, sulit sekali bersatu untuk misalnya, melawan Israel. Ketika kepentingan nasionalnya terpenuhi, mereka merasa konflik dengan Israel sudah selesai. Mesir kini berdamai dengan Israel setelah gurun Sinai kembali ke pangkuannya.
Begitu juga Yordania setelah mereka mendapatkan kembali Tepi Barat. Tidak peduli, walau hingga saat ini tanah Palestina masih dikuasai Israel dan kaum muslimin di sana masih menderita akibat penindasan Zionisme. Organisasi semacam OKI atau Liga Arab tak mampu berbuat banyak dalam menggalang persatuan umat, karena negara anggotanya lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Nasonalisme juga berdampak sangat serius di bidang hukum. Bagi seorang nasionalisme, hukum yang layak adalah hukum nasional bukan hukum agama apalagi dari satu agama. Demi kepentingan persatuan nasional, semua agama harus disamadudukkan (sinkretisme).
4. Sinkretisme di bidang agama
Paham nasionalisme tidak akan tegak tanpa disertai penyebaran paham sinkretisme yang intinya “menyamadudukan semua agama”. Sinkretisme sebagai anak cabang pemikiran sekuler berdiri di atas tiga doktrin.
Pertama, dikatakan bahwa kebenaran agama itu bersifat subyektif. Artinya, suatu agama pasti dinilai sebagai yang paling benar oleh pemeluknya masing-masing, dan agama lain salah. Karena semua agama bersifat demikian, maka seseorang tidak mungkin dipaksa mengikuti aturan selain yang menjadi agamanya. Semua agama harus dipandang sama kedudukannya,
Kedua, sebagai konsekuensi dari doktrin yang pertama dimana semua agama kedudukannya sama, maka suatu agama tidak boleh mendominasi agama yang lain. Sebab, itu berarti memaksa seseorang untuk mengikuti aturan yang berasal dari bukan agamanya.
Ketiga, oleh karenanya maka untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai pemeluk agama, diperlukan aturan bersama yang dinilai mampu mengadaptasi semua agama atau paham yang berkembang di tengah masyarakat.
Pemikiran sinkretisme menyebabkan sebagian umat Islam “memandang rendah”, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi” aturan agamanya sendiri. Ia merasa menjadi orang modern bila turut beranggapan bahwa aturan-aturan masyarakat yang “demokratis dan aspiratif” adalah yang lepas dari agama yang ada, termasuk Islam.
Tidak lupa ia turut mengecam aturan Islam sebagai “ketinggalan jaman, kejam, tidak manusiawi serta tidak cocok untuk masyarakat plural”, hanya karena aturan Islam diturunkan empat belas abad lalu di negeri Arab yang secara sosiologis katanya, berbeda dengan tanah airnya.
Disebut toleransi – dan itu sebuah kemulian – bila orang mau mengerti aspirasi agama lain. Misalnya dengan menghadiri natal bersama, nyepi atau perayaan lain bersama serta bersedia melepas beberapa prinsip agamanya demi persatuan; dan disebut fanatik (buruk) bila orang terlalu kuat berpegangan pada agamanya.
Dengan bersikap demikian, sadar atau tidak, kendati muslim sesungguhnya ia telah menjadi lawan agama Islam. Ia telah terjerumus demikian jauh dalam jurang kesesatan. Ia lupa, seorang muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah.
Oleh karenanya, terhadap agama lain sikap yang harus diambil adalah dakwah, yakni mengajak pengikutnya agar memeluk Islam, sebagaimana ajakan Rasulullah SAW. Dalam suratnya kepada Heraclius : Aslim Taslam (masuklah ke dalam Islam, niscaya kamu akan selamat). Toleransi dikenal dalam Islam tapi tidak dalam arti seperti tersebut di atas. Perlu diingatkan pula bahwa Islam adalah agama untuk semua manusia, yang jika ditegakkan akan membawa kebaikan bersama.
Fakta sejarah di masa lalu ketika Islam berkuasa di berbagai wilayah, misalnya di Irak, Mesir, Spanyol dimana komunitas non Muslim juga hidup di dalamnya, menunjukkan hal itu, Mereka hidup sejahtera, sama seperti komunitas Muslim. Islam tidak akan ketinggalan jaman, karena ia diturunkan oleh Dzat yang Maha mengetahui dan telah menetapkannya sebagai agama terakhir. Menyatakan Islam “tidak cocok” untuk masyarakat yang hidup 14 abad kemudian, sama saja menuduh seolah Allah tidak tahu akan perkembangan masyarakat di masa depan dan tidak tahu bagaimana mengaturnya!
Akibat sinkretisme, sebagai komunitas mayoritas di Indonesia, umat tidak merasa apa-apa menyaksikan kehidupan yang tidak diatur dengan Islam. Ia tidak juga segera sadar akan kekeliruan pemikirannya kendati kenyataan menunjukkan, aturan bersama yang ada tidaklah mampu membawa masyarakat kepada kebaikan. Berbagai problematika (di bidang ekonomi muncul kesenjangan, harga melambung, monopoli dan sebagainya budaya Barat dan sebagainya) yang silih berganti muncul di tengah masyarakat, bahkan mungkin dia termasuk salah satu korbannya, tidak cukup mengingatkan bahwa Islam adalah solusinya. Sinkretisme telah membuatnya buta.
Semua asas pengaturan kehidupan di atas tidaklah muncul dari satu kesatuan pemikiran. Tapi sekedar berdasar manfaat, yang diduga mungkin atau bisa diperoleh di bidangnya masing-masing. Oleh karenanya, sekulerisme pada tataran praktis banyak sekali menimbulkan kontradiksi di tengah masyarakat.
Di bidang pendidikan, satu sisi diinginkan siswa yang berpribadi luhur, kuat agamanya, tapi tidak ada atau sedikit sekali langkah ke arah itu (apa yang bisa diharap dari pelajaran agama 4 sks sampai tingkat sarjana di perguruan tinggi?). ketika para siswi ingin mewujudkan perintah agama (memakai jilbab, duduk terpisah laki dan perempuan), ternyata dihambat dan malah dituduh ekstrem, fanatik serta tuduhan lainnya yang menyakitkan.
Di bidang budaya, satu sisi kita prihatin terhadap meningkatnya kriminalitas dan diinginkan masyarakat yang mulia, sopan, dengan remajanya yang berkepribadian teguh, tapi di sisi lain tontonan di TV atau bioskop merajalela penuh dengan kekerasan dan kemaksiatan disertai ajakan seks dan pergaulan bebas. Satu sisi polisi mengeluhkan akibat alkoholisme dan kemudian membuat operasi menyapu minuman di warung-warung, tapi industri minuman keras jalan terus hanya karena alasan cukai dan tenaga kerja. Satu sisi menginginkan pemerataan, tapi sisi lain monopoli swasta makin mencengkram.
AIDS diperangi, tapi kompleks-kompleks pelacuran tetap dibiarkan laris. Katanya negara berdasarkan pada ketuhanan, tapi begitu banyak aturan negara yang menyimpang dari aturan Tuhan. Bila demikian lantas tuhan yang mana yang dimaksud oleh penduduk mayoritas negeri ini? Juga, mengapa mereka yang memperjuangkan tegaknya aturan Tuhan – sesuai asas yang ada – malah dituduh subversif? Qira’ah al-Qur’an dilombakan dalam MTQ, tapi ajarannya diabaikan.
Penyadaran : Agenda Utama Umat
Hanya ada satu cara untuk keluar dari kemelut ini, yakni umat Islam harus bangkit! Tekad itu dan istilah kebangkitan memang mulai menyebar ke tengah umat semenjak dicanangkannya abad 15 sebagai abad kebangkitan Islam. Tapi apa yang disebut bangkit atau kebangkitan, agaknya beragam orang memahaminya.
Syekh Taqiyyudin an-Nabhani menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran secara mendasar (asasiyan) dan menyeluruh (syamilan) menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, serta hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi tingkah laku. Akan terwujud tingkah laku Islamiy bila pada diri seorang muslim tertanam pemahaman Islam.
Dengan demikian kebangkitan umat Islam ke dalam diri umat dan terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam. Untuk itu diperlukan dakwah. Dan dakwah ditengah kemunduran umat seperti sekarang ini – akibat tidak adanya kehidupan Islam – haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (li isti’nafi al-hayati al-Islamiyyah).
Dakwah melanjutkan kehidupan Islam bertujuan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum Islam di bidang ‘aqidah, ibadah, akhlaq, makanan, minuman, pakaian, muamalah (politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya) – ‘audati al-muslimin ila al-‘amal bi jami’i ahkami al-Islam. Dari segi individu, dakwah atau pembinaan kepada umat bertujuan untuk membentuk seorang muslim yang berkepribadian Islam.
Yakni seseorang yang berpikir dan bertindak secara Islamiy. Ia tidak berpikiran kecuali sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak bertindak kecuali sesuai dengan syariat Islam. Harus ditanamkan kepada umat pemahaman aqidah yang benar dan kuat beserta segenap konsekuensi dari orang yang telah beraqidah Islam, yakni taat pada syariat.
Juga, ditanamkan pemahaman atas syari’at Islam itu sendiri, agar dengannya ia mengerti apa tujuan hidup ini, bagaimana menjalaninya; serta bagaimana musalnya, ia harus menjalankan ibadah dengan baik, memilih pakaian yang benar, makanan yang halal, bergaul secara Islamiy, dan bermuamalah secara syari’at. Ia bertindak Islamiy, di masjid, demikian pula semestinya ketika ia berada di kantor, di pasar, dijalan-jalan.
Ia Islamiy ketika shalat, begitu semestinya ketika berdagang, ketika bergaul dengan orang lain. Lebih jauh lagi, pembinaan itu diharapkan menyadarkan umat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur sesuai dengan Islam. Dari segi komunitas, pembinaan kepada umat bertujuan agar dari setiap muslim yang berkepribadian Islam terbentuk kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam hingga terbentuknya masyarakat Islam.
Itulah yang disebut kekeuatan politik (al-quwwatu al-siyasiyah). Hanya dalam masyarakat Islam saja seluruh hukum Islam dapat ditegakkan. Dan hanya dengan terlaksananya seluruh hukum Islam kita dapat merasakan kerahmatan Islam; bukan hanya bagi umat Islam tapi juga mereka yang beragama selain Islam, karena memang Islam membawa rahmat bagi sekalian alam.
Tidak sempurnanya pembinaan terhadap umat hanya akan menghasilkan kepribadian yang tidak utuh. Ia muslim tapi tidak shalat, bahkan dengan mudah menggadaikan kemuslimannya demi sebungkus supermi atau untuk wanita yang dicintainya. Tidak sedikit kita jumpai orang yang dengan ringannya meninggalkan shalat, tidak menunaikan zakat dan melalaikan puasa Ramadhan. Atau, kalau ibadahnya bagus tapi ia tidak atau kurang memperhatikan aturan Islam di bidang lain. Seolah Islam hanya mengatur masalah ibadah, dan keislamannya terbatas hanya pada masalah ibadah saja. Di luar itu, ia merasa bebas berbuat.
Ia misalnya, rajin shalat tapi juga makan riba. Ia bangga dengan titel hajinya, tapi bangga pula dengan pemikiran sekuler dan jiwa nasionalnya; atau bangga dengan kecantikan rambut dan tubuhnya yang dibiarkan terlihat orang lain. Ketika di Mina ia melempar jumrah sebagai simbolisasi perlawanan terhadap setan, tapi sepulang dari Mina ia menjadi teman, bahkan budak setan.
Ia menentang gerakan pemurtadan, tapi menentang pula gerakan yang akan menegakkan syariat Islam di tengah masyarakat. Ia bangga dengan kemuslimannya tapi tidak gelisah sedikit pun tatkala demikian banyak aturan Islam yang ditinggalkan, atau tidak risih melihat kehidupan diatur dengan hukum yang tidak bersumber dari agama yang dipeluknya itu. Ia tahu bahwa sesama muslim bersaudara, tapi tidak sedikit pun ia peduli melihat pembantaian muslim Bosnia, Chechnya dan sebagainya. Bila demikian, lantas dimana makna pernyataan “shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah semata Tuhan semesta alam,” juga kekafahan yang diminta al-Qur’an?
Pembinaan kepada umat yang tidak sempurna juga akan menghambat terbentuknya kehidupan Islam. Karena umat itu sendiri yang akan menjadi batu penghalang upaya ke arah sana. Siapa lagi yang berani menghalangi proses Islamisasi, apalagi di negeri dimana umat Islam mayoritas, bila bukan dari kalangan umat Islam sendiri (dengan berbagai argumen batil) atau kalangan non Islam dengan lidah dan tangan (tokoh) umat Islam.
Isu “pluralisme, primordialisme, fundamentalisme, nilai-nilai kebangsaan” dan sebagainya, selama ini ternyata dilontarkan oleh tokoh-tokoh Islam. Dan sasarannya tidak lain adalah kelompok Islam yang dinilainya “mengandung semangat Islamisasi”. Kepala sekolah yang dulu menghambat jilbab di SMA ternyata juga muslim.
Sementara, tanpa kehidupan Islam bisakah kita berharap munculnya tatanan kehidupan yang baik?
Atau, bisakah kita berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat?
Bila tidak, mengapa kita masih suka berlama-lama hidup dalam kejahiliyahan seperti sekarang ini?
Satu sisi kita mengeluh : hidup makin susah dan makin tidak aman, harga apa-apa naik, kemaksiyatan merajalela, pornografi mudah dijumpai, remaja makin brutal, birokrasi makin tidak bisa diharap, di dunia luar kaum muslimin dibantai dimana-mana dan sebagainya; tapi di sisi lain mengapa kita mendiamkan begitu saja agama Islam yang kita yakini – pasti bisa menyelesaikan semua masalah dan mengatur kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya – teronggok bagai barang antik tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata? Itu sama saja dengan seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tapi obat ditangan hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?
Pada era perang fisik, kita terjun dengan membawa senjata yang dilengkapi dengan berbutir-butir peluru dan mesiu. Tapi yang kita hadapi bukan perang fisik tapi perang pemikiran. Maka semestinya kita terjun sebagai pasukan Islam dengan menembakkan peluru pemikiran Islam, memerangi musuh yang membawa peluru pemikiran sesat. Mulut dan tangan adalah senjata kita, dengan kantong peluru berupa pemahaman Islam yang shahih di otak kita.
Sebagaimana Rasulullah SAW. Membangun peradaban Islam dengan mulutnya. Merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Dalam perang ini musuh Islam menggunakan segenap tenaga dan upaya (jaringan birokrasi, media massa dan sebagainya), maka diperlukan lebih banyak lagi pasukan Islam yang bergerak di tengah umat untuk menyadarkan umat dari tidurnya yang panjang. Hanya melalui umat yang sadar saja bisa diharapkan kebangkitan umat yang hakiki. Insya Allah.
To be continued...
0 komentar:
Posting Komentar