Sharing for learn...

Senin, 27 Oktober 2014

Seputar Ari Ari dalam Islam

Senin, Oktober 27, 2014 Posted by ./rex No comments
Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi

Ari-ari atau plasenta secara medis berfungsi sebagai penyedia makanan dan saluran lainnya, yang menghubungkan antara janin dengan ibunya. Selama berbulan-bulan, placenta ini sangat berguna bagi bayi di dalam rahim sang ibu. Namun begitu bayi lahir, maka perannya usai sudah.Namun dalam masyarakat tertentu, ada semacam kepercayaan tertentu bahwa di balik fungsi medis, ada hubungan ‘ghaib’ tertentu antara bayi dengan plasentanya. Karena itu, sebagian masyarakat yang mewarisi tradisi kuno ini masih terlihat melakukan berbagai macam ritual yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Salah satunya adalah mengubur plasenta di dekat rumah, bahkan harus diberi pelita (lampu). Dan bersamanya juga dikuburkan benda-benda tertentu, yang dipercaya akan berpengaruh atas nasib dan kehidupan si bayi bila kelak dewasa.

Lucunya, terkadangsebagian orang melakukan ritual itu begitu saja, tanpa pernah tahu hubungan sebab akibatnya. Dan semakin lucu lagi, karena yang melakukannya seringkali justru orang yang berpendidikan tinggi dan sarjana. Seharusnya mereka lebih mengedepankan hal-hal yang ilmiyah ketimbang sesuatu yang irrasional.

Bagaimana dengan Pandangan Syariah Islam?

Tentu saja tidak ada satu pun dalil, baik berupa potongan ayat Al-Quran atau hadits nabawi, tentang masalah menanam ari-ari. Bahkan hadits yang paling dhaif atau bahkan hadits palsu sekalipun, sama sekali tidak pernah memuat masalah ini.

Jadi ritual ini betul-betul produk lokal, jauh dari bau-bau Islam dan syariatnya. Tak satu ayat Quran menyebutkannya, tidak satu pun hadits nabi menyinggungnya dan tidak ada dalam syariat Islam tentang aturan mainnya.

Sementara, dari sisi aqidah yang bersih, kepercayaan bahwa ada hubungan ghaib antara plasenta dengan nasib seseorang, jelas telah melanggar wilayah syirik. Sehingga ritual tertentu yang dilakukan terhadap plasenta ini, sangat mengganggu hubungan kita sebagai muslim dengan Allah Azza wa Jalla.

Seolah nasib seseorang ditentukan oleh plasentanya, bukan oleh tugas pendidikan dari kedua orang tuanya dan lingkungannya. Padahal tegas sekali disebutkan bahwa nasih seseorang bukan ditentukan oleh perlakuan terhadap plasenta, namun tergantung dari upaya (ikhtiar) seseorang serta doa-doa yang dipanjatkan.

Khusus masalah doa yang dipanjatkan, Allah Azza wa Jalla telah menetapkan teknis dan tata caranya. Bila menggunakan teknis dan tata cara yang tidak sesuai dengan apa yang dimaui oleh Allah Azza wa Jalla, doa itu bukan saja tertolak, tetapi malah akan menimbulkan bencana. Misalnya ritual perlakuan terhadap plasenta yang cenderung syirik itu, bukan nasih baik yang akan diterima oleh bayi dan keluarga itu, malah boleh jadi sebaliknya.

Namun kita juga harus menerima kenyataan bahwa ritual dan kepercayaan kuno itu masih banyak melekat di tengah masyarakat. Bahkan, tidak jarang yang jadi pelakunya adalah orang terdidik. Mungkin di kepalanya ada ragu dan setengah tidak percaya, tetapi tetap dilakukannya juga, dengan alasan untuk menjaga tradisi nenek moyang.

Maka semua itu harus diklarifikasi ulang, tradisi nenek moyang yang bagaimana yang harus kita lestarikan? Sebab tidak semua tradisi itu baik. Bukankah di zaman nenek moyang dulu, juga ada tradisi minum khamar, zina, judi dan seterusnya? Bukan kah dahulu nenek moyang kita menyembah dewa dan berhala?

Apakah hari ini akan tetap kita lestarikan budaya-budaya yang negatif dari nenek moyang itu? Tentu tidak, bukan?

Tugas kita sekarang ini adalah berupaya mengikis dan mengurangi secara sistematis, tradisi yang sekiranya bertentang dengan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai keIslaman. Namun bila tradisi itu sesuai dengan Islam, barulah kita lestarikan.

Memendam Plasenta untuk Kebersihan Lingkungan

Kalau sekedar mengubur (memendam) palsenta di dalam tanah, tanpa niat apapun kecuali untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan, tentu boleh dan baik. Sebab plasenta itu akan segera membusuk bila tidak dipendam.

Jalan terbaik memang dipendam saja, agar tidak merusak lingkungan. Namun tanpa diiringi ritual apa pun yang bisa merusak hubungan mesra kita kepada Allah SWT. Pendam saja dan selesai.

Wallahu a’lam bishshawab

****************************************************************************


Cara Menguburkan Tembuni (Ari-Ari) secara Syar’i

Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari. Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu, karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada dasarnya dalam syariah.

Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dsoa yang dibawa mati tidak akan diampuni.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa’: 48)

Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan, tetapi agar tidak terjadi pencemaran.

Cara yang paling aman dan mudah adalah dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk dikuburkan di dalam tanah.

Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam keercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.

Sumber: rumahfiqih.com


Hukum Menguburkan Ari-Ari Bayi

Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi dipandang sebagai ajaran asing yang harus dipahami sebagaimana mula asalnya. Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian, mulai dari cara berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di Nusantara ini memiliki karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh dengan akar tradisi yang mendalam. Yang dibangun secara perlahan bersamaan dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para pendakwah Islam di zamannya.

Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah menanam/menguburkan ari-ari setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan bunga di atasnya. Atau dengan menyalakan lilin di malam hari.

 Apakah Islam pernah mengajarkan hal yang demikian?

Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj menerangkan :

وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.

Sedangakan pelarangan bertindak boros (tabdzir) Imam al-Bajuri dalam kitab Hasyiyatul Bajuri berkata :
)المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Namun, seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari serbuan binatang malam (seperti tikus dll). Maka jika demikian hukumnya boleh saja.

Sumber : nu.or.id


Memperlakukan Ari-ari atau Tembuni

Ari-ari atau tembuni adalah gumpalan daging yang berisi darah, cairan, atau bagian lain yang ikut dikeluarkan bersama bayi pada saat dilahirkan. Tidak banyak buku—untuk tidak mengatakan tidak ada—yang membahas khusus mengenai bagaimana memperlakukan ari-ari atau tembuni ini setelah bayi dilahirkan.

Lalu, sebagai orang Islam, sudah barang tentu kita bertanya tentang bagaimanakah cara kita memperlakukan ari-ari. Persoalan ini memang perlu dijawab karena sering muncul pertanyaan di masyarakat, terutama dari kalangan keluarga muda. Pertanyaan ini juga menjadi penting karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat, terutama orang Jawa, sangat istimewa atau terhormat dalam memperlakukan ari-ari ini, sehingga mempunyai aturan dan tata cara yang detail dalam memperlakukannya.
Mengapa orang Jawa mempunyai rasa hormat sehingga tidak sembarangan dalam memperlakukan ari-ari? Karena dalam keyakinan orang Jawa, ari-ari adalah bagian dari sedulur (saudara) dari bayi. Sudah barang tentu, sebagai sedulur atau saudara, ari-ari ini dianggap mempunyai ruh yang diyakini mempunyai hubungan yang dekat dengan bayi. Itulah mengapa ari-ari atau tembuni yang merupakan bagian dari saudara sang bayi harus dikubur secara layak.

Setelah bayi dilahirkan dan tali pusar dipotong, biasanya ari-ari dibersihkan dengan cara dicuci memakai air. Setelah bersih, ari-ari dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari gerabah. Ada pula yang tidak langsung memasukkan ke dalam wadah tersebut, tetapi membungkusnya dahulu dengan kain putih yang bersih. Setelah dimasukkan wadah dan ditutup, ari-ari tersebut baru kemudian dikubur atau ditanam di dalam tanah.

Cara menguburnya pun bisa dibilang unik, akan dikubur di sebelah mana, tergantung dari jenis kelamin sang bayi. Ada pula yang membarengi penguburan ari-ari itu dengan menaruh barang-barang tertentu di dalam wadah. Barang atau benda tertentu itu, misalnya, pena agar kelak sang anak menjadi terpelajar, cermin agar kelak pandai berdandan, jarum agar kelak sang anak pandai menjahit, dan lain sebagainya. Setelah dikubur, di atas gundukan tanahnya ada yang menaburkan bunga, kemudian diberi lampu atau alat penerang agar sedulur¬-nya tidak kegelapan; atau ada yang merasionalisasi tentang penerang ini, menurut mereka, agar kubur atau timbunan ari-ari tidak dibongkar oleh anjing atau hewan pemakan daging lainnya.

Bagaimana Pandangan Islam?

Sebelum membahas persoalan ini lebib lanjut, satu hal yang perlu ditegaskan, tulisan dalam risalah sederhana ini tidak dimaksudkan untuk menghukumi bahwa perilaku dalam adat tertentu itu syirik atau tidak. Sebab, persoalan syirik atau tidak itu letaknya di dalam hati; apakah seseorang menyekutukan Allah Swt. atau tidak; apakah seseorang mempunyai keyakinan bahwa ada kekuatan lain selain Allah atau tidak; apakah seseorang mempunyai ketakutan kalau tidak melakukan sesuatu akan berakibat buruk bagi nasibnya atau tidak, padahal perbuatan itu sama sekali tidak Allah perintahkan, dan sebagainya.

Namun, apabila di dalam hati seseorang sudah tumbuh kepercayaan yang kalau mau jujur diakui pada ujungnya adalah menyekutukan Allah Swt., sudah barang tentu sikap semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Di sinilah sesungguhnya pentingnya menjaga hati agar senantiasa dalam tauhid. Bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Esa. Hanya Dia-lah Yang Mengatur alam semesta ini; termasuk nasib dan takdir dari setiap manusia.

Demikian pula dalam masalah ari-ari. Sayangnya untuk masalah ini tidak dijumpai hadis Nabi Saw. yang dapat dijadikan rujukan. Namun, para ulama memandang bahwa ari-ari atau tembuni memang berguna ketika bayi dalam kandungan. Tetapi, setelah keluar bersama bayi pada saat dilahirkan, maka ari-ari adalah barang yang tidak berguna lagi.

Tidak ditemukan pula satu dalil pun yang mengatakan bahwa ari-ari itu mempunyai ruh; apalagi yang mengatakan bahwa ruh itu bisa berhubungan erat dengan sang bayi. Misalnya, kalau di timbunan ari-ari itu tidak diberi bunga, maka ruh dari sedulur bayi itu akan mengganggu sehingga sang bayi akan terus-menerus menangis. Juga tidak ditemukan satu dalil pun yang mengatakan bahwa ruh dari sedulur itu kelak bisa ditemui oleh sang anak bila sudah dewasa, melalui ritual tertentu, sehingga bisa memberikan pertolongan.

Memang, ada beberapa orang yang mengaku pernah dan atau bisa bertemu dengan sedulur-nya itu. Menurut penelusuran penulis, juga berdasarkan pendapat beberapa ulama, yang menemui itu adalah perwujudan dari jin, yang beberapa pendapat menyebutnya sebagai qarin. Sungguh, dalam hal ini kita perlu berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam sebuah keyakinan yang pada ujungnya ternyata menyekutukan Allah Swt.

Kembali kepada masalah ari-ari atau tembuni, berkaitan dengan para ulama yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi setelah bayi lahir, juga tidak ada satu pun dalil yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut mempunyai ruh, maka para ulama mengajarkan agar ari-ari itu hendaknya dikubur atau ditanam begitu saja.

Dalam hal ini, H. Munawir Abdul Fattah, dalam sebuah bukunya yang berjudul Tradisi Orang-Orang NU, mengutip kitab Nihâyat al-Muhtâj, yang menjelaskan bahwa disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan) yang terpisah dari seorang yang masih hidup atau yang diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, dan darah akibat goresan, demi menghormati pemiliknya.

Dengan demikian, jelas sudah tentang bagaimana cara kita dalam memperlakukan ari-ari, yakni dikubur atau ditanam begitu saja tanpa perlu diberi sesuatu atau uba rampe tertentu. Mengubur atau menanam ari-ari adalah suatu kebaikan karena ia pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih dalam kandungan. Menanam ini juga dikiyaskan dengan rambut atau kuku setelah dipotong sebaiknya ditanam sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Jadi, justru tidak dibenarkan apabila dibuang begitu saja. Selain itu, perbuatan main buang saja yang seperti itu tentu bukan mencerminkan perilaku orang beriman yang menganggap penting masalah kebersihan.

Dikarenakan penguburan ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa ari-ari itu memang pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih di dalam kandungan, tidak masalah jika sebelum dikubur dibersihkan terlebih dahulu; tidak masalah juga jika dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu kemudian ditutup agar tidak berbau, baru kemudian ditanam. Asalkan, ini yang paling penting, jangan pernah punya keyakinan kalau tidak begini maka akan begitu; kalau tidak begitu maka nasib sang bayi akan begini. Sebab, hanya Allah Swt. Yang Mahakuasa dan Mempunyai Kekuatan. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.

Demikian tulisan singkat mengenai ari-ari ini semoga bermanfaat bagi kita bersama.

Salam keluarga bahagia,
Akhmad Muhaimin Azzet

semuga ada manfaat insyaAlloh



Rabu, 15 Oktober 2014

Agama Jadi Bahan Lawakan di Stand Up Comedy

Rabu, Oktober 15, 2014 Posted by ./rex No comments
Kita tahu bahwasanya stand up comedy adalah ajang untuk menunjukkan siapakah yang paling lucu dan yang paling jago dalam membuat perut penonton mules. Namun bermunculan belakangan ini lawakan yang berbau SARA karena melecehkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan yang melecehkan menamakan dirinya Ustadz. Dalam lawakannya gerakan shalat dilecehkan. Ia juga menyebutkan salah satu surat dalam Al Qur’an yaitu surat Al Ikhlas -yang disebut tsulutsul Qur’an (mengandung sepertiga Al Qur’an)-, dilecehkan dengan menyatakan bahwa surat tersebut dapat mengusir kucing. Setiap yang mendengarnya tertawa cekikikan.

Namun sangat disayangkan kenapa popularitas dicari dengan cara melecehkan ayat-ayat Allah padahal si pelawak berpecis dan berpakaian muslim?

(video tambahan ilustrasi)

Bahaya Melecehkan Al Qur’an

Yang kami sayangkan dari perilaku ustadz gadungan ini adalah melecehkan ayat Al Qur’an, beda halnya jika guyonannya tidak bawa-bawa agama. Padahal mempermainkan ayat Allah supaya buat orang lain tertawa dapat terkena ayat berikut.
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66)

Coba perhatikan kisah berikut:

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”

(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”

Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah),

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah T’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)” -Demikianlah dinukil dari Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul-

Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah dan ayat-ayat Allah adalah suatu bentuk kekafiran. Dan barang siapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia juga telah mengolok-olok yang lainnya (semuanya). (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 59)

Bahaya Membuat Lawakan

“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.”  (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 2315. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Lihatlah orang yang membuat cadaan, lawakan dikatakan celaka. Ini adalah ancaman baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para pelawak yang hanya ingin membuat penonton tertawa.

Bayangkan lagi jika yang jadi bahan lawakan adalah surat dalam Al Qur’an, apalagi surat yang mulia seperti surat Al Ikhlas. Bagaimana jadinya?

Kadang candaan dan lelucon yang dibuat dengan mengambil lalu menyembunyikan barang orang lain. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.” (HR. Abu Daud no. 5003 dan Tirmidzi no. 2160. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Orang yang mengambil hendaklah mengembalikannya,

“Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah mengembalikannya” (HR. Abu Daud no. 5003)

Membuat orang lain takut walau maksudnya bercanda termasuk dosa.

Pernah di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama beliau, lalu ada seseorang di antara mereka yang tertidur dan sebagian mereka menuju tali yang dimiliki orang tersebut dan mengambilnya. Lalu ia pun khawatir (takut). Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.”  (HR. Abu Daud no. 5004 dan Ahmad 5: 362. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kita sering dahulu melihat ada yang melakukan seperti itu. Ada yang sengaja menyembunyikan sendal temannya di masjid . Ketika ia keluar, ia pun kebingungan. Nah, ketika sudah pada puncak kebingungan setelah sejam mencari, barulah barang miliknya dikembalikan. Hal ini tidaklah dibolehkan. Sampai-sampai Imam Abu Daud (Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistaniy) membuat bab tersendiri dalam kitab sunannya dengan membawakan hadits-hadits yang penulis sebutkan di atas. Beliau membuat judul bab, “Siapa yang mengambil barang orang lain dalam rangka bercanda.”

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menghindarkan diri dari yang haram.



Source http://goo.gl/tttSRO

Kenapa Tidak Kritis pada Dalil?

Rabu, Oktober 15, 2014 Posted by ./rex No comments
Ketika ada yang mau berpegang teguh dengan ajaran Rasul, mau memahami dalil secara tekstual, ingin menerapkan halal dan haram sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya tunjukkan, maka ketika itu disebut tidak kritis dan pikirannya tidak jauh ke depan.

Itulah yang biasa disematkan oleh kaum liberal pada orang yang berpegang teguh dengan ajaran Islam.
Allah Ta’ala berfirman,

“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaum Nuh: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud: 27).

Yang dimaksud orang-orang yang hina yaitu dhu’afa’. Maksudnya adalah orang-orang yang pemahamannya kurang. Jadi, pengikut Rasul digelari orang yang tidak cerdas, tidak kritis, dan tidak punya pandangan yang jauh ke depan.

Guru kami, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan -semoga Allah berkahi umur beliau- berkata, “Itulah yang dibanggakan oleh kebanyakan orang fasik dan musuh Islam, mereka mengejek setiap muslim yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam dan juga mengejek ulamanya sebagai orang yang bodoh dan tidak memiliki pandangan jauh ke depan. Mereka merendahkan orang Islam dengan pandangan semacam ini. Padahal para ulama memandang suatu masalah dengan pandangan tajam. Para ulama menghukumi suatu masalah dengan akan dan pengetahui dengan taufik dari Allah. Perintah dan larangan yang mereka keluarkan adalah dari Allah.”

Gelaran lainnya yang disematkan pada ulama adalah, “Para ulama itu hanya menguasai haidh dan nifas, ulama hanya paham istinja’ (cebok) dengan batu, atau hanya mengilmui hal parsial dan tidak mengetahui fikih praktis.” (Syarh Masail Jahiliyyah, hal. 54).

Hanya Allah yang memberi taufik.



Source http://goo.gl/1Ykv3b

Mengajak Orang Lain untuk Baik Namun Lupa Akan Diri Sendiri

Rabu, Oktober 15, 2014 Posted by ./rex No comments
Inilah sifat orang Yahudi, mereka mengajak oranga lain berbuat kebaikan. Namun sayangnya, mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka enggan mengamalkan apa yang mereka ucap. Padahal mereka paham isi Taurat mereka. Seorang muslim tentu tidak boleh mengikuti sikap jelek orang Yahudi tersebut. Hendaklah setiap yang berdakwah, segera mengamalkan apa yang ia dakwahkan.
Allah Ta’ala berfirman,

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa mereka -orang Yahudi- mengajak orang lain untuk beriman dan berbuat baik, namun sayangnya mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka sendiri meninggalkan apa yang mereka perintahkan. Padahal mereka membaca Al Kitab (Taurat). Apakah mereka tidak berpikir?

Syaikh As Sa’di juga memberikan pelajaran berharga bahwa akal itu disebut akal karena akal dapat mengerti manakah kebaikan yang membawa manfaat dan manakah sesuatu yang membawa kejelekan (dampak bahaya). Sehingga akal akan memerintahkan seseorang untuk menjadi orang pertama dalam melakukan perintah dan menjadi orang pertama pula dalam meninggalkan larangan.

Jika ada yang mengajak orang lain dalam kebaikan, namun ia sendiri tidak mengerjakannya atau melarang orang lain dari keburukan, namun ia sendiri tidak meninggalkannya, itu menunjukkan bahwa ia tidak memiliki akal dan tanda dirinya itu bodoh. Terkhusus jika ia tahu akan kebaikan dan keburukan tersebut, lalu sudah ditegakkan hujjah (argumen) atas dirinya.

Walaupun ayat ini ditujukan pada Bani Israil, namun sebenarnya isi kandungannya berlaku untuk setiap orang. Karena Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3).

Ayat di atas tidaklah menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mengamalkan yang ia ilmui berarti ia meninggalkan amar maruf nahi munkar secara total. Namun ayat tersebut cuma menunjukkan ketercelaan karena seseorang meninggalkan dua kewajiban. Karena perlu dipahami bahwa manusia memiliki dua kewajiban yaitu memerintahkan (mendakwahi) orang lain dan mengajak pula diri sendiri. Jika seseorang meninggalkan salah satunya, jangan sampai ia meninggalkan yang lainnya. Yang sempurna memang seseorang melakukan kedua-duanya. Jika kedua-duanya ditinggalkan berarti itu kekurangan yang sempurna. Jika hanya menjalankan salah satunya, berarti tidak mencapai derajat pertama (derajat kesempurnaan), namun tidak tercela seperti yang terakhir (derajat ketidaksempurnaan).

Perlu diketahui pula bahwa sifat jiwa tidaklah patuh pada orang yang berkata namun tindakan nyatanya itu berbeda. Manusia akan lebih senang mengikuti orang yang mempraktekkan langsung dibanding dengan orang yang cuma sekedar berucap.

Demikian, penjelasan di atas adalah kutipan dari penjelasan Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 51.

Semoga bermanfaat. Moga Allah memberikan petunjuk dalam ilmu dan amal.



Source http://goo.gl/Ydkgcx

Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?

Rabu, Oktober 15, 2014 Posted by ./rex No comments
Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang muslim namun suka bermaksiat, ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?

Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim. Kenapa demikian?

Karena memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di atas, bukan di bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak pantas Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)

Memang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264).
Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.

Lantas manakah yang mending memiliki pemimpin muslim namun kerap korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi?

Kita dapat ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini.

Ibnu Mas’ud berkata,

“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Kata Syaikh Sholeh Al Fauzan, di antara faedah dari hadits di atas adalah bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua kemudaratan. (Al Mulakhos fii Syarh Kitabit Tauhid, hal. 328).

Kaedah dari pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah,

“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,

“Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)

Kalau kita bandingkan saat mesti memilih antara pemimpin muslim yang gemar maksiat dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka tetap saja pemimpin muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa alasannya?

Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir. Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslimin. Alasan ketiga, non muslim tidak mudah menindas kaum muslimin atau menyebar ajaran mereka.

Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi, itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas tindak jeleknya. Namun agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim yang bermaksiat masih lebih mending, berbeda dengan non muslim yang diancam akan kekal di neraka.

Jadi bagi yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih baik, berpikirlah dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim  dalam ayat berikut ini,

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6).
Ini firman Allah loh yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan wahyu.

Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim bukan kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Dalam ayat lain disebutkan,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

Marilah kaum muslimin melihat realita yang terjadi. Cobalah renungkan sejenak, bagaimana nasibnya nanti jika akhirnya pemimpin non muslim yang akan maju sebagai pewaris kekuasaan.

Hanya Allah yang memberi taufik.



Source http://goo.gl/RUJTEp

Walau Kau Katakan Non Muslim itu Jujur dan Amanat …

Rabu, Oktober 15, 2014 Posted by ./rex No comments
Walau kau katakan bahwa non muslim tersebut lebih baik, lebih amanat, lebih jujur, lebih bersih, lebih adil, dan menyebutkan rentetan kebaikan lainnya, namun Allah tetap mengatakan bahwa mereka adalah sejelek-jeleknya makhluk. Disebutkan dalam surat Al Bayyinah, non muslim itu syarrul bariyyah (sejelek-jeleknya makhluk).
Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” 
(QS. Al Bayyinah: 6-8).

Mengenai tempat orang kafir yaitu bagi ahli kitab dan non-muslim lainnya kelak adalah di neraka. Mereka akan kekal di dalamnya.

Jika dikatakan mereka kekal di dalamnya, berarti mereka terus menerus di dalamnya dan tidak berpindah dari tempat tersebut.

Mereka pun disebut sejelek-jeleknya makhluk yang Allah berlepas diri dari mereka.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) serta orang-orang musyrik adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah. Jika mereka adalah sejelek-jelek makhluk, maka berarti dipastikan pada mereka kejelekan. Karena yang dimaksud kejelekan di sini adalah nampak pada mereka kejelekan yang tidak mungkin kita berhusnuzhon (berprasangka baik) pada mereka. Kecuali ada beberapa orang yang dipersaksikan langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara orang musyrik seperti ‘Abdullah bin Ariqoth. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyewanya untuk menunjukkan jalan ketika hijrah. Akan tetapi selain dia, yaitu mayoritas orang musyrik adalah tidak bisa kita menaruh percaya pada mereka. Karena mereka adalah sejelek-jeleknya makhluk.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 284).

Jadi, masikah kita memuji-muji non muslim dengan pujian setinggi langit?

Semoga orang yang terlalu mengagungkan non muslim mau introspeksi diri atas kekeliruannya. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.



Source http://goo.gl/JTGhGU

Selasa, 14 Oktober 2014

Syariah dan Khilafah Kewajiban Kaum Muslimin

Selasa, Oktober 14, 2014 Posted by ./rex No comments
Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq yang meliputi akidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi akhlaq, makanan dan pakaian, serta mengatur hubungan antar sesama manusia yang meliputi mu'amalat dan uqubat (sistemsanksi). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Allah SWT berfirman :

"(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl : 89)

Islam wajib diterapkan secara sempurna sebagaimana firan Allah SWT :

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqoroh : 208)

dan haram hukumnya mengambil aturan lain selain Islam, Allah berfirman :

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imron : 85)

Islam, sebagai sebuah agama yang sempurna diterapkan dengan tiga pilar yaitu; pertama, ketaqwaan individu, kedua, kontrol masyarakat yaitudengan amar ma' ruf nahi mungkar, dan ketiga, negara menerapkan Syariat Islam secara Total.

Negara memiliki peran yang penting pada pelaksanaan syariat.

Negaralah yang menjalankan hukum-hukum Islam dalam bidang pemerintahan, ekonomi, peradilan, pergaulan, pendidikan, pertahanan, dan keamanan.

Negara mewajibkan ummat Islam untuk menjalankan kewajiban syariat dan melarang melakukan keharaman dan juga menerapkan sangsi atas pelanggaran syariat.

Negara menjalankan uqubat seperti hukum potong tangan pada pencuri, hukum jilid bagi pezina, hukum qishos pada pembunuh dan penganiaya yang melukai tubuh orang lain, termasuk menerapkan hukum ta'zir bagi yang meninggalkan sholat, puasa, zakat dan segala hal yang diwajibkan Allah SWT, selain kasus-kasus hudud dan jinayat.

Negara menjalankan ekonomi Islam seperti menjamin kebutuhan pokok seluruh warga, melarang penimbunan barang (ihtikar), melarang penimbunan uang (kanzulmaal), melarang riba, menerapkan sistem uang dinar (emas) dan dirham (perak) serta menjaga agar semua hukum ekonomi tersebut berjalan dengan sangsi hukum yang tegas bagi yang melangar ketentuan-ketentuan ekonomi Islam.

Demikian juga dengan hukum-hukum islam lainnya, hanya dapat diterapkan secara sempurna, bila ada kekuasaan Islam yaitu Khilafah Islamiyah.

Menegakkan Khilafah Islamiyah hukumnya wajib

Dalilnya adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma sahabat. Dalil Al-Qur'an, Allah menegaskan didalam Al-Qur'an bahwasanya kaum muslimin wajib taat kepada pemimpin yang menjalankan syariat

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)

Dan kewajiban untuk menjalankan Syariat Islam secara Total

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu," (QS. Al-Maidah : 48)

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Maidah : 49)

Konsekuensi dari kewajiban ini adalah kewajiban kaum muslimin mewujudkan pemerintahan Islam yaitu khilafah islamiyah, sebab ketaatan pada pemimpin dan penerapan syariat secata total hanya terwujud bila ada pemimpin yang menjalankan Syariat Islam.

Dalil As-Sunnah, Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat bai'at (kepada kholifah), maka ia mati seperti kematian jahiliyah" (HR. Muslim)

Hadist tersebut mewajibkan adanya baiat diatas pundak setiap muslim, yakni adanya khalifah yang dengan keberadaannya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim.

Sedangkan dalil berupa ijma sahabat, maka para sahabat - ridhwanallah 'alayhim - telah bersepakat atas keharusan pengangkatan khalifah (pengganti) bagi rasulullah saw setelah beliau wafat.

Mereka telah bersepakat untuk mengangkat abu bakar sebagai khalifah, lalu umar bin khaththab sepeninggal abu bakar, dan sepeninggal umar, utsman bin affan.

Telah nampak jelas penegasan ijma' sahabat terhadap wajibnya pengangkatan khalifah dari penundaan pengebumian jenazah rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) beliau.

Pata ulama sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib

Hal ini dinyatakan oleh Imam Zakaria An Nawawiy Asy Syafi'iy, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hal. 291 :
"...mereka bersepakat bahwa atas kaum muslimin mengangkat kholifah, dan kewajiban tersebut ditetapkan secara syar'iy bukan ditetapkan berdasarkan akal...".

Imam 'Alauddin al-kasaniy al-hanafiy, bada'iush shanai'fii tartibisy syarai', juz 14 hal. 406 :
"..dan sesungguhnya mengangkat imam 'adhom (khalifah) adalah fardhu tanpa perbedaan di kalangan ahlil haq...".

Al-Imam muhammad bin ahmad bin abu bakar bin farah al-qurthubi al-malikiy, al jaami' li ahkamil qur'an, juz 1 hal 264 - 265 :
"...ayat ini menjadi dasar kewajiban mengangkat imam dan khalifa, yang ia didengar dan ditaati...".

Hal yang sama juga dinyatakan oleh imam umar bin ali bin adil al hanbaliy, tafsir ullubab fii 'ulumil kitab, juz 1 hal 204.

Saat ini, ummat Islam dalam kondisi terpuruk. Terpecah belah dalam negara-negara kecil degnan kepentingan nasional masing-masing. Kondisi ini menyebabkan ummat Islam menjadi lemah sehingga mudah dijajah oleh negara-negara besar. Ummat Islam di palestina, Irak, Afganistan, Kashmir, dan lain-lain menjadi saksi kebrutalan penjajah terhadap mereka.

Selain itu, ummat Islam juga terpuruk di segala aspek kehidupan baik ekonomi, pergaulan, pemerintahan, keamanan, hukum,  pendidikan dan lain-lain.

Hal ini terjadi karena satu sebab yaitu tidak diterapkannya syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah wadah kekuasaan Islam atau khilafah islamiyah. Oleh karena itu, kaum muslimin wajib secara bersama-sama berjuang untuk mengembalikan kehidupan islam dengan mendirikan khilafah islamiyah.

Khilafah Islamiyah yang akan menyatukan ummat Islam diseluruh penjuru dunia, menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan mengemban dakwah keseluruh penjuru dunia.

Tentang Hizbut Tahrir
Jamaah Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam

Hizbut Tahrir adalah jamaah dakwah yang didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah swt :

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran : 104)

Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat islam dari kemerosotan yagn amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir.

Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali.

Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam tiga tahap berikut :

Pertama tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.

Kedua, tahapan berinteraksi dengan umat (Marhalah Tafa'ul Ma'a Al Ummah), yang dlaksanakan agar ummat turut memikul kewajiban dawah Islam, hingga ummat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.

Ketiga, tahapan penerimaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam keseluruh dunia.

"Demi Dzat yang jiwaku ada di dalam genggaman tanganNya, sungguh kalian melakukan amar ma'ruf nahi' anil mungkar, atau Allah pasti akan menimpakan siksa; kemudian kalian bedoa memohon kepada Allah, dan doa itu tidak dikabulkan untuk kalian". (HR. Turmudziy)



Source Buletin Dakwah HTI DPD II Bekasi Raya
Back to Top