Sharing for learn...

Senin, 27 Oktober 2014

Seputar Ari Ari dalam Islam

Senin, Oktober 27, 2014 Posted by ./rex No comments
Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi

Ari-ari atau plasenta secara medis berfungsi sebagai penyedia makanan dan saluran lainnya, yang menghubungkan antara janin dengan ibunya. Selama berbulan-bulan, placenta ini sangat berguna bagi bayi di dalam rahim sang ibu. Namun begitu bayi lahir, maka perannya usai sudah.Namun dalam masyarakat tertentu, ada semacam kepercayaan tertentu bahwa di balik fungsi medis, ada hubungan ‘ghaib’ tertentu antara bayi dengan plasentanya. Karena itu, sebagian masyarakat yang mewarisi tradisi kuno ini masih terlihat melakukan berbagai macam ritual yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Salah satunya adalah mengubur plasenta di dekat rumah, bahkan harus diberi pelita (lampu). Dan bersamanya juga dikuburkan benda-benda tertentu, yang dipercaya akan berpengaruh atas nasib dan kehidupan si bayi bila kelak dewasa.

Lucunya, terkadangsebagian orang melakukan ritual itu begitu saja, tanpa pernah tahu hubungan sebab akibatnya. Dan semakin lucu lagi, karena yang melakukannya seringkali justru orang yang berpendidikan tinggi dan sarjana. Seharusnya mereka lebih mengedepankan hal-hal yang ilmiyah ketimbang sesuatu yang irrasional.

Bagaimana dengan Pandangan Syariah Islam?

Tentu saja tidak ada satu pun dalil, baik berupa potongan ayat Al-Quran atau hadits nabawi, tentang masalah menanam ari-ari. Bahkan hadits yang paling dhaif atau bahkan hadits palsu sekalipun, sama sekali tidak pernah memuat masalah ini.

Jadi ritual ini betul-betul produk lokal, jauh dari bau-bau Islam dan syariatnya. Tak satu ayat Quran menyebutkannya, tidak satu pun hadits nabi menyinggungnya dan tidak ada dalam syariat Islam tentang aturan mainnya.

Sementara, dari sisi aqidah yang bersih, kepercayaan bahwa ada hubungan ghaib antara plasenta dengan nasib seseorang, jelas telah melanggar wilayah syirik. Sehingga ritual tertentu yang dilakukan terhadap plasenta ini, sangat mengganggu hubungan kita sebagai muslim dengan Allah Azza wa Jalla.

Seolah nasib seseorang ditentukan oleh plasentanya, bukan oleh tugas pendidikan dari kedua orang tuanya dan lingkungannya. Padahal tegas sekali disebutkan bahwa nasih seseorang bukan ditentukan oleh perlakuan terhadap plasenta, namun tergantung dari upaya (ikhtiar) seseorang serta doa-doa yang dipanjatkan.

Khusus masalah doa yang dipanjatkan, Allah Azza wa Jalla telah menetapkan teknis dan tata caranya. Bila menggunakan teknis dan tata cara yang tidak sesuai dengan apa yang dimaui oleh Allah Azza wa Jalla, doa itu bukan saja tertolak, tetapi malah akan menimbulkan bencana. Misalnya ritual perlakuan terhadap plasenta yang cenderung syirik itu, bukan nasih baik yang akan diterima oleh bayi dan keluarga itu, malah boleh jadi sebaliknya.

Namun kita juga harus menerima kenyataan bahwa ritual dan kepercayaan kuno itu masih banyak melekat di tengah masyarakat. Bahkan, tidak jarang yang jadi pelakunya adalah orang terdidik. Mungkin di kepalanya ada ragu dan setengah tidak percaya, tetapi tetap dilakukannya juga, dengan alasan untuk menjaga tradisi nenek moyang.

Maka semua itu harus diklarifikasi ulang, tradisi nenek moyang yang bagaimana yang harus kita lestarikan? Sebab tidak semua tradisi itu baik. Bukankah di zaman nenek moyang dulu, juga ada tradisi minum khamar, zina, judi dan seterusnya? Bukan kah dahulu nenek moyang kita menyembah dewa dan berhala?

Apakah hari ini akan tetap kita lestarikan budaya-budaya yang negatif dari nenek moyang itu? Tentu tidak, bukan?

Tugas kita sekarang ini adalah berupaya mengikis dan mengurangi secara sistematis, tradisi yang sekiranya bertentang dengan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai keIslaman. Namun bila tradisi itu sesuai dengan Islam, barulah kita lestarikan.

Memendam Plasenta untuk Kebersihan Lingkungan

Kalau sekedar mengubur (memendam) palsenta di dalam tanah, tanpa niat apapun kecuali untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan, tentu boleh dan baik. Sebab plasenta itu akan segera membusuk bila tidak dipendam.

Jalan terbaik memang dipendam saja, agar tidak merusak lingkungan. Namun tanpa diiringi ritual apa pun yang bisa merusak hubungan mesra kita kepada Allah SWT. Pendam saja dan selesai.

Wallahu a’lam bishshawab

****************************************************************************


Cara Menguburkan Tembuni (Ari-Ari) secara Syar’i

Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari. Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu, karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada dasarnya dalam syariah.

Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dsoa yang dibawa mati tidak akan diampuni.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa’: 48)

Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan, tetapi agar tidak terjadi pencemaran.

Cara yang paling aman dan mudah adalah dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk dikuburkan di dalam tanah.

Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam keercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.

Sumber: rumahfiqih.com


Hukum Menguburkan Ari-Ari Bayi

Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi dipandang sebagai ajaran asing yang harus dipahami sebagaimana mula asalnya. Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian, mulai dari cara berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di Nusantara ini memiliki karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh dengan akar tradisi yang mendalam. Yang dibangun secara perlahan bersamaan dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para pendakwah Islam di zamannya.

Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah menanam/menguburkan ari-ari setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan bunga di atasnya. Atau dengan menyalakan lilin di malam hari.

 Apakah Islam pernah mengajarkan hal yang demikian?

Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj menerangkan :

وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.

Sedangakan pelarangan bertindak boros (tabdzir) Imam al-Bajuri dalam kitab Hasyiyatul Bajuri berkata :
)المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Namun, seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari serbuan binatang malam (seperti tikus dll). Maka jika demikian hukumnya boleh saja.

Sumber : nu.or.id


Memperlakukan Ari-ari atau Tembuni

Ari-ari atau tembuni adalah gumpalan daging yang berisi darah, cairan, atau bagian lain yang ikut dikeluarkan bersama bayi pada saat dilahirkan. Tidak banyak buku—untuk tidak mengatakan tidak ada—yang membahas khusus mengenai bagaimana memperlakukan ari-ari atau tembuni ini setelah bayi dilahirkan.

Lalu, sebagai orang Islam, sudah barang tentu kita bertanya tentang bagaimanakah cara kita memperlakukan ari-ari. Persoalan ini memang perlu dijawab karena sering muncul pertanyaan di masyarakat, terutama dari kalangan keluarga muda. Pertanyaan ini juga menjadi penting karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat, terutama orang Jawa, sangat istimewa atau terhormat dalam memperlakukan ari-ari ini, sehingga mempunyai aturan dan tata cara yang detail dalam memperlakukannya.
Mengapa orang Jawa mempunyai rasa hormat sehingga tidak sembarangan dalam memperlakukan ari-ari? Karena dalam keyakinan orang Jawa, ari-ari adalah bagian dari sedulur (saudara) dari bayi. Sudah barang tentu, sebagai sedulur atau saudara, ari-ari ini dianggap mempunyai ruh yang diyakini mempunyai hubungan yang dekat dengan bayi. Itulah mengapa ari-ari atau tembuni yang merupakan bagian dari saudara sang bayi harus dikubur secara layak.

Setelah bayi dilahirkan dan tali pusar dipotong, biasanya ari-ari dibersihkan dengan cara dicuci memakai air. Setelah bersih, ari-ari dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari gerabah. Ada pula yang tidak langsung memasukkan ke dalam wadah tersebut, tetapi membungkusnya dahulu dengan kain putih yang bersih. Setelah dimasukkan wadah dan ditutup, ari-ari tersebut baru kemudian dikubur atau ditanam di dalam tanah.

Cara menguburnya pun bisa dibilang unik, akan dikubur di sebelah mana, tergantung dari jenis kelamin sang bayi. Ada pula yang membarengi penguburan ari-ari itu dengan menaruh barang-barang tertentu di dalam wadah. Barang atau benda tertentu itu, misalnya, pena agar kelak sang anak menjadi terpelajar, cermin agar kelak pandai berdandan, jarum agar kelak sang anak pandai menjahit, dan lain sebagainya. Setelah dikubur, di atas gundukan tanahnya ada yang menaburkan bunga, kemudian diberi lampu atau alat penerang agar sedulur¬-nya tidak kegelapan; atau ada yang merasionalisasi tentang penerang ini, menurut mereka, agar kubur atau timbunan ari-ari tidak dibongkar oleh anjing atau hewan pemakan daging lainnya.

Bagaimana Pandangan Islam?

Sebelum membahas persoalan ini lebib lanjut, satu hal yang perlu ditegaskan, tulisan dalam risalah sederhana ini tidak dimaksudkan untuk menghukumi bahwa perilaku dalam adat tertentu itu syirik atau tidak. Sebab, persoalan syirik atau tidak itu letaknya di dalam hati; apakah seseorang menyekutukan Allah Swt. atau tidak; apakah seseorang mempunyai keyakinan bahwa ada kekuatan lain selain Allah atau tidak; apakah seseorang mempunyai ketakutan kalau tidak melakukan sesuatu akan berakibat buruk bagi nasibnya atau tidak, padahal perbuatan itu sama sekali tidak Allah perintahkan, dan sebagainya.

Namun, apabila di dalam hati seseorang sudah tumbuh kepercayaan yang kalau mau jujur diakui pada ujungnya adalah menyekutukan Allah Swt., sudah barang tentu sikap semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Di sinilah sesungguhnya pentingnya menjaga hati agar senantiasa dalam tauhid. Bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Esa. Hanya Dia-lah Yang Mengatur alam semesta ini; termasuk nasib dan takdir dari setiap manusia.

Demikian pula dalam masalah ari-ari. Sayangnya untuk masalah ini tidak dijumpai hadis Nabi Saw. yang dapat dijadikan rujukan. Namun, para ulama memandang bahwa ari-ari atau tembuni memang berguna ketika bayi dalam kandungan. Tetapi, setelah keluar bersama bayi pada saat dilahirkan, maka ari-ari adalah barang yang tidak berguna lagi.

Tidak ditemukan pula satu dalil pun yang mengatakan bahwa ari-ari itu mempunyai ruh; apalagi yang mengatakan bahwa ruh itu bisa berhubungan erat dengan sang bayi. Misalnya, kalau di timbunan ari-ari itu tidak diberi bunga, maka ruh dari sedulur bayi itu akan mengganggu sehingga sang bayi akan terus-menerus menangis. Juga tidak ditemukan satu dalil pun yang mengatakan bahwa ruh dari sedulur itu kelak bisa ditemui oleh sang anak bila sudah dewasa, melalui ritual tertentu, sehingga bisa memberikan pertolongan.

Memang, ada beberapa orang yang mengaku pernah dan atau bisa bertemu dengan sedulur-nya itu. Menurut penelusuran penulis, juga berdasarkan pendapat beberapa ulama, yang menemui itu adalah perwujudan dari jin, yang beberapa pendapat menyebutnya sebagai qarin. Sungguh, dalam hal ini kita perlu berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam sebuah keyakinan yang pada ujungnya ternyata menyekutukan Allah Swt.

Kembali kepada masalah ari-ari atau tembuni, berkaitan dengan para ulama yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi setelah bayi lahir, juga tidak ada satu pun dalil yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut mempunyai ruh, maka para ulama mengajarkan agar ari-ari itu hendaknya dikubur atau ditanam begitu saja.

Dalam hal ini, H. Munawir Abdul Fattah, dalam sebuah bukunya yang berjudul Tradisi Orang-Orang NU, mengutip kitab Nihâyat al-Muhtâj, yang menjelaskan bahwa disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan) yang terpisah dari seorang yang masih hidup atau yang diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, dan darah akibat goresan, demi menghormati pemiliknya.

Dengan demikian, jelas sudah tentang bagaimana cara kita dalam memperlakukan ari-ari, yakni dikubur atau ditanam begitu saja tanpa perlu diberi sesuatu atau uba rampe tertentu. Mengubur atau menanam ari-ari adalah suatu kebaikan karena ia pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih dalam kandungan. Menanam ini juga dikiyaskan dengan rambut atau kuku setelah dipotong sebaiknya ditanam sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Jadi, justru tidak dibenarkan apabila dibuang begitu saja. Selain itu, perbuatan main buang saja yang seperti itu tentu bukan mencerminkan perilaku orang beriman yang menganggap penting masalah kebersihan.

Dikarenakan penguburan ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa ari-ari itu memang pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih di dalam kandungan, tidak masalah jika sebelum dikubur dibersihkan terlebih dahulu; tidak masalah juga jika dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu kemudian ditutup agar tidak berbau, baru kemudian ditanam. Asalkan, ini yang paling penting, jangan pernah punya keyakinan kalau tidak begini maka akan begitu; kalau tidak begitu maka nasib sang bayi akan begini. Sebab, hanya Allah Swt. Yang Mahakuasa dan Mempunyai Kekuatan. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.

Demikian tulisan singkat mengenai ari-ari ini semoga bermanfaat bagi kita bersama.

Salam keluarga bahagia,
Akhmad Muhaimin Azzet

semuga ada manfaat insyaAlloh



0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top