Sharing for learn...

Minggu, 26 Juli 2015

Prospek dan Tantangan Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Islamiy

Minggu, Juli 26, 2015 Posted by ./rex , No comments
Tulisan ini adalah lanjutan dari Artikel Sebelumnya (klik tulisan ini), agar lebih mudah memahami tulisan ini aku sarankan untuk membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya.

Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi atau mabda’ adalah bagaimana merubah masyarakat sesuai dengan visi dan cita-citanya mengenai transformasi sosial. Tidak hanya Islam, bahkan semua ideologi menghadapi suatu pertanyaan pokok, bagaimana mengubah masyarakat dari kondisi yang ada sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya.

Sebagai sebuah ideologi, Islam juga menderivasikan pemikiran-pemikiran sosialnya dari dalil-dalil syara’ untuk transformasi sosial  menuju tatanan masyarakat Islamiy. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa realitas sosial bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Dan ini berakar pada misi ideologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar pada masyarakat dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai tauhidullah (mengesakan Allah).

Jadi, tidaklah Islamiy misalnya, jika seseorang muslim tak acuh terhadap realitas struktural maupun kultural masyarakatnya, sementara ia tahu bahwa kondisi itu bersifat mungkar.

Menurut Dawam Rahardjo (Intelektual Intelegensia Risalah Cendekiawan Muslim, 1993) setidaknya terdapat dua persepsi mengenai istilah “transformasi”,

Pertama, berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia, yang beralih dari tahap masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Perubahan itu kini tengah berlangsung, terutama dalam masyarakat industri maju di Barat, walaupun dampaknya yang bersifat global sudah pula merambat ke Dunia Ketiga yang kebanyakan masih agraris.

Kajian historis memang menyimpulkan bahwa pada dua atau tiga abad terakhir telah terjadi perubahan fundamental dari masyarakat agraris-tradisional ke masyarakat industrial-modern. Revolusi industri telah menjadi sumber transformasi gelombang kedua, meminjam istilah Alvin Toffler, dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis.

Dan kini, akibat kemajuan luar biasa di bidang transportasi dan teknologi komunikasi, masyarakat dunia tengah mengalami transformasi gelombang ketiga (the third-wave) dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi.

Kedua, istilah transformasi berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar dari suatu masyarakat senyatanya munju masyarakat yang diidealkan. Dalam konteks Islam, transformasi sebagaimana disebut di muka berarti perubahan mendasar pada masyarakat yang ada sekarang (mencakup struktur sosial, budaya dan teknik istilah lain untuk sistem politik dan pemerintahan) menuju masyarakat Islamiy.

Bila 2 (dua) pengertian transformasi di atas digabung, maka transformasi yang tengah kita bicarakan menjadi berarti “perubahan mendasar pada masyarakat yang ada sekarang menuju masyarakat Islamiy di tengah-tengah perubahan besar masyarakat dunia dari tahap masyarakat industri menuju masyarakat informasi”.

Gejala-gejala penting dalam masyarakat industri, menurut Dr. Kuntowijoyo (Paradigma Islam, 1993), adalah perhatian yang besar pada peningkatan produksi dan ekspansi usaha. Proses ini hanya mungkin terselenggara dengan tenaga kerja dan organisasi yang serba besar dalam sebuah zona industri. Pembentukan zona industri mendorong penciptaan lingkungan buatan bagi kehidupan manusia (ingat gejala Lippocity, Bumi Serpong Damai Kota Mandiri, Tigaraksacity, dan city-city yang lain) untuk menampung perkembangan industri (dengan tenaga kerja dan organisasi yang besar) yang menuntut terselenggaranya semua prasarana kehidupan secara terpadu dan efisien. Pada gilirannya masyarakat berkembang kearah spesialisasi dan rasionalisasi intelektual dan sosial.

Ini akibat melonggarnya nilai tradisi, digantikan hubungan yang bersifat rasional, legal dan kontraktual. Lingkungan rumah yang dulu menjadi basis kehidupan di era agraris, karena tuntutan profesionalisme kini digantikan kantor. Interaksi lebih banyak dilakukan dengan teman sekantor ketimbang dengan tetangga. Praktis rumah dan lingkungan tinggal hanya sekedar menjadi tempat istirahat dan dengan pola hubungan antar tetangga yang sangat terbatas.

Dengan kemajuan teknologi informasi yang luar biasa menjadikan dunia seperti tanpa jarak, tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang tengah terjadi di suatu tempat di belahan bumi dengan cepat diketahui oleh kita di belahan bumi sini dan sontak mempengaruhi reaksi kita. Kita ikut geram menyaksikan pemboman brutal milisi biadab Serbia atas kantong muslim Bosnia di Sarajevo.

Atau kita turut meradang mendengar veto AS atas resolusi yang mengecam rencana Israel mencaplok 53 hektar tanah Palestina. Jutaan orang menyaksikan kemenangan kesebelasan Ajax atas AC Milan. Dan jutaan orang ikut terpanaskan menyaksikan aksi panggung Madonna. Jaringan telekomunikasi memperbanyak frekuensi kontak kita. Kita dapat berhubungan dengan lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat dari yang dilakukan manusia sebelum kita. Akibatnya, bangsa-bangsa secara ekonomis, sosial dan kultural menjadi interdependen.

Pertukaran informasi antar penduduk dunia berlangsung cepat dan dalam jumlah yang banyak. Inilah globalisasi. Naisbitt dan Patricia Aburden menyebut tiga F yang akan mengglobal : food, fashion dan fun (makanan, pakaian, dan hiburan). Mc Donald bukan hanya dimakan orang Amerika di Chicago tapi juga orang Ciputat. Model pakaian Mbak Mimin di Malang sama persis dengan model yang ia lihat lewat layar kaca dalam peragaan busana di Milan, Italy, dan Udin, anak Pak Dullah, di desa terpencil sana, sebagaimana jutaan anak lain di seluruh dunia, kenal betul pahlawan Power Rangers.

Tapi bukan hanya 3 F. Seorang cendikiawan di Indonesia menambah menjadi faith, fear, facts, fiction dan formulation (kebangkitan, ketakutan, fakta, fiksi, dan perumusan).

Ditengah-tengah arus perubahan besar dunia dan setelah sekian lama umat Islam hidup dalam sistem jahiliy itulah, kitakini tengah berupaya melakukan transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy guna membangun sebuah peradaban Islam. Oleh karenanya menjadi penting sekali diketahui apa saja tantangan dan hambatan yang akan kita hadapi, disamping bagaimana kemungkinan keberhasilan (prospect) dengan segenap faktor pendukung dari sebuah kerja besar yang merupakan kewajiban Islam yang utama guna menyelesaikan problematika utama umat Islam (qadiah al-muslimin al ula), yakni i’adatu alhukmi bi ma anzala allah  memberlakukan kembali hukum-hukum Allah.

Upaya transformasi ini dalam istilah Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ta’rif disebut sebagai dakwah li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah (untuk melanjutkan kehidupan Islam) karena kehidupan Islam yang pernah ada kini lenyap, tinggallah kehidupan orang-orang Islam yang melaksanakan aturan Islam sebagian dan meninggalkan sebagian besar yang lain. Dakwah melanjutkan kehidupan Uslam adalah upaya untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam.

Dua pilar kekuatan umat

Di tengah kemunduran yang demikian parah di segala bidang, (umat) Islam sesungguhnya masih memiliki dua kekuatan (strength) utama, yakni kekuatan pada ajaran dan sejarah.

Pertama, Islam sebagai ajaran yang genuine (asli) bersumber dari wahyu Ilahi tentu sangat kompatibel dengan struktur fisik dan kejiwaan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat, karena Islam memang diturunkan Allah untuk manusia. Pada diri manusia terdapat naluri beragama yang memerlukan pemuasan. Ketika kecenderungan itu bertemu dengan Islam, jadilah itu sebuah pertemuan yang sangat serasi.

Tidak hanya itu, Islam pula yang dapat memberikan cara pemuasan kebutuhan jasmani dan naluri lain dengan sebaik-baiknya serta mengatur hubungan (‘alaqat) antara individu dalam masyarakat secara harmonis, sedemikian sehingga cita-cita manusia bagi terbentuknya msayarakat yang adil, sejahtera dan tenteram akan tercapai.

Kedua, Islam bukanlah agama dengan segepok teori dan ilusi kosong tanpa kenyataan. Islam sebagai agama telah ada sejak 14 abad silam dan sebagai mabda’ telah pernah terujud secara faktual sebagai realitas historis selama berabad-abad di berbagai wilayah. Sejarah Spanyol tidak bisa ditulis tanpa menyebut peran Islam yang pernah memimpin wilayah itu sekitar 800 tahun. Begitu juga wilayah Balkan, Asia Tengah, Asia Selatan, bahkan juga Prancis Selatan.

Bukti-bukti keagungan peradaban Islam bisa didapatkan dalam manuskrip dan bangunan sejarah atau pada kenyataan sekarang dimana kendati sistem Islam telah hancur digantikan sistem lain yang mencoba mengeleminasi Islam dari kenyataan masyarakat (seperti sekulerisasi di Turki dan penindasan di Uni Sovyet), tapi ternyata kaum muslimin tetap eksis, bahkan sebagiannya masih memegang teguh kultur Islam (seperti terlihat pada ibu-ibu tua Bosnia yang tetap mengenakan kerudung, atau tampak pada pakaian wanita India).

Penerapan sistem selain Islam atas kaum muslimin ternyata memang tidak pernah berhasil. Kalau pun “berhasil”, pasti harus dilakukan dengan susah payah disertai dengan kekuatan senjata (seperti yang terjadi di Turki, juga di Uni Sovyet). Tapi itu pun ternyata tidak mampu memindahkan agama mereka serta menghilangkan akar sejarah kaum muslimin sepenuhnya. Terbukti, kendati umat Islam di Azerbaijan misalnya, hidup dalam sistem komunis dan selama itu mereka mengalami penindasan, ternyata mereka tetap muslim.

Masyarakat dengan sistem selain Islam tapi individu-individunya tidak sepenuhnya atau bahkan menolak sistem tersebut sedemikian sehingga pemikiran dan perasaannya juga campur aduk antara Islam dan non Islam, oleh Syekh M. Husain Abdullah (Mafahim Islamiyyah) disebut sebagai masyarakat ghairu mutamayyiz (tidak khas), yakni masyarakat yang tidak secara total mencerminkan suatu ideologi tertentu akibat tidak semua unsur pembentuk masyarakat, yaitu individu-individu, ide-ide, perasaan dan peraturan (afrad, afkar, nasyair dan nidham) berpangkal pada satu ide yang sama.

Masyarakat seperti ini, dikatakan Syekh Husain Abdullah tidak pernah stabil, sampai seluruh komponennya menyatu dalam satu ide (Islam, atau sama sekali bukan Islam). Itulah yang tengah terjadi pada seluruh negeri muslim sekarang ini. Penyatuan seluruh komponen penyusun masyarakat ke arah ide non Islam, memeng terus dilakukan dengan berbagai cara oleh para penguasa di negeri-negeri muslim. Tapi ternyata gagal total, karena upaya keras itu tidak mampu membunuh fitrah kecenderungan kaum muslimin kepada Islam sesuatu yang sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan.

Maka lebih sering terjadi karena sulitnya melakukan langkah itu penguasanya putus asa, keburu meninggal sebelum cita-citanya terwujud, atau malah penguasanya itu sendiri yang berubah. Yang lebih mudah dilakukan tentunya adalah mengubah mereka ke arah Islam (mengislamkan watak/tingkah laku orang Islam) karena itu berarti sekadar memanggil fitrah umat Islam itu sendiri.

Dengan dua kekuatan potensial ini, upaya transformasi sosial sebenarnya “sekadar” mengingatkan kaum muslimin akan ajaran agamanya dan sejarah peradaban Islam dimana nenek moyang mereka pernah hidup. Memang terdapat kendala serius pada kaum muslimin Indonesia. Mengingatkan mereka pada tradisi nenek moyang berarti mengembalikan mereka pada tradisi Hindu atau Budha. Di negeri ini, Islam memang belum pernah menjadi budaya. Kalau pun ada, itu lebih banyak merupakan akulturasi antara budaya Islam dengan Hindu atau Budha. Sedikit saja yang murni muncul dari Islam.

Prospek

Ada beberapa faktor pendukung prospek lajunya transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy di negeri ini. Diantaranya:

1.    Kondisi internasional

Dunia internasional setidaknya pada satu dasa warsa terakhir dipenuhi dengan berbagai gejolak.

Pertama, yang paling menonjol adalah kehancuran komunisme dan makin loyonya kapitalisme. Akibatnya, masyarakat dunia kini mengalami keguncangan ideologi. Sosialisme-komunisme telah lama hancur. Ideologi yang telah berkuasa di Uni Sovyet sekitar 70 tahun dengan radius pengaruh hampir mencakup sepertiga penduduk dunia di belasan negara satelit, tumbang bukan oleh siapa-siapa melainkan oleh para pengikutnya sendiri, di negeri sendiri yang selama waktu itu menjadi sentral kendali dunia dan pernah amat ditakuti.

Runtuhnya permerintahan komunis di Uni Sovyet diikuti oleh pemerintahan serupa di Eropa Timur yang selama ini menjadi sekutunya. Bahkan Uni Sovyet  kemudian hancur berkeping-keping menjadi beberapa negara merdeka yang lepas dari Moskow baik secara ekonomi, militer, budaya dan terlebih lagi secara ideologis. Terbukalah tirai yang selama ini menutup negeri itu. Dan segera kita tahu bahwa disana tinggal tidak kurang dari 50 juta kau muslimin di beberapa negara seperti Kazakhstan, Azerbeijan, termasuk negera kecil “oase Islam” Chechnya.

Kaum muslimin di sana ternyata memiliki sejarah panjang hidup dalam peradaban Islam jauh lebih lama dari kurun kekuasaan komunis itu sendiri. Kini mereka seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk.

Memang ada beberapa negara yang masih berusaha supaya tetap konsisten dalam mengikuti sosialisme-komunis, seperti Kuba. Tapi itu tak lebih hanya menunda kehancuran. Kuba kini harus menghadapi problematika dalam negeri yang sangat berat seperti kemunduran ekonomi, pengangguran, dan tekanan rakyat. Gelombang pengungsian besar-besaran rakyat Kuba ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, membuktikan hal itu. Rakyat disana agaknya sudah tidak betah lagi tinggal di negeri yang memang tidak menjanjikan apa-apa.

Serupa dengan Kuba Korea Utara juga menghadapi problematika yang kurang lebih sama. Sementara, Cina cukup cerdik. Untuk menghindari kebangkrutan terutama di bidang ekonomi, mereka segera melakukan liberalisasi. Jadilah Cina kini negara komunis dengan sistem ekonomi kapitalis. Negeri-negeri komunis kecil di sekitarnya seperti vietnam, kamboja malah sudah lebih dulu banting setir, menengok liberalisme.

Apakah itu semua menandai kemenangan kapitalisme? Orang sering bependapat bahwa musnahnya komunisme merupakan kemenangan kapitalisme. Pendapat seperti ini jelas keliru besar, oleh karena kapitalisme yang kini menjadi pemain tunggal di pentas dunia itu sesungguhnya hapir sama buruknya dengan komunisme. Keduanya merupakan ideologi  yang lahir dari materialisme, yang tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan, yang hanya memburu puncak-puncak kenikmatan keduniaan. Sekali pun yang satu menggunakan cara kolektivisme dan yang lain individualisme.

Di dalam komunisme terjadi penindasan manusia atas manusia. Sedang dalam kapitalisme terjadi sebaliknya. Secara faktual , ideologi sesat yang berasas naf’iyyah (manfaat) dimana nilai tertinggi bagi mereka adalah segala yang dapat memberikan manfaat material dan kenikmatan itu, terbukti makin tidak mampu membawa manusia kepada kehidupan sejahtera lahir dan batin. Kapitalisme diyakini juga akan mengalami gulung tikar dalam tempo yang tidak terlalu lama. Sekarang pun kita sudah melihat bagaimana kapitalisme di Amerika Serikat, yang dianggap paling segar, tengah mengalami situasi loyo, yakni dengan kecenderungan-kecenderungan yang makin mengkhawatirkan. Dari segi ekonomi, AS tidak lagi bisa dikatakan negara super kuat. Pengangguran meningkat.

Tidak sedikit pabrik (karena kalah bersaing dengan Jepang), terpaksa gulung tikar. Pada satu sisi, kapitalisme memang telah mendorong kemajuan material yang luar biasa, tapi untuk itu diperlukan biaya sosial yang sangat mahal. Watak kapitalisme yang eksploitatif menghasilkan ketimpangan ekonomi dan akhirnya juga ketimpangan sosial. Ditengah gemerlap kota New York teselip slump tempat mukim warga kota yang tersisih dari percaturan hidup yang ganas. Mereka tinggal di tempat yang kotor, tanpa air, listrik dan gas yang cukup. Alkoholisme, narkotika, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan kriminalitas lain adalah menu mereka sehari-hari. Tingkat aborsi sudah demikian tinggi. Penyakit AIDS juga makin mengancam Amerika.

Jepang, negeri penganut kapitalisme dengan kemakmuran yang demikian tinggi, kini tengah menghadapi problematika sosial yang tidak ringan. Diantaranya yang paling menonjol adalah dahaga spiritualitas. Kemakmuran ternyata tidak selalu membawa kebahagiaan (spiritualitas). Di tengah kegamangan hidup seperti itu, hadirlah sekte-sekte keagamaan murahan semacam sekte Aum, menawarkan ilusi. Anehnya, laku. Menurut kabar, kini terdapat tidak kurang 18.000 sekte keagamaan tumbuh di Jepang.

Dan tiap tahun bermunculan sekitar 1000 sekte keagamaan baru. Masyarakat Jepang yang dikenal sangat rasional, ketika sampai kepada masalah spiritual ternyata menjadi amat tidak rasional kalau tidak mau dikatakan amat dungu. Tapi itulah potret buah kapitalisme yang menghasilkan pribadi-pribadi yang pecah (split-personality); gemerlap secara material, kering secara spiritual. Bila sosialisme-komunisme sudah hancur, sedang kapitalisme makin limbung, dan diyakini akan segera menyusul saudara kembarnya, kemana lagi manusa akan mengadu? Bagi kaum muslimin jawabnya semestinya jelas: Islam.

Kedua, maraknya kezaliman atas umat Islam di berbagai tempat dan hipokrisi Barat atas setiap peristiwa di dunia sepanjang menyangkut Islam. Belum lepas kaum muslimin di Palestina dari penderitaan akibat teror Israel yang sudah berlangsung hampir setengah abad, meyusul saudara kita di Bosnia. Disana terjadi pembersihan religi (religic cleansing). Tragedi ini adalah pelanggaran HAM yang paling telanjang yang terjadi di depan hidung negara-negara Barat yang mengaku pendekar HAM.

Semua perundingan dan ancaman NATO atas Serbia adalah omong kosong Barat dan sandiwara murahan yang diperankan oleh aktor-aktor tak berperikemanusiaan. Kedzaliman paling mutakhir adalah penindasan kaum muslimin di Chechnya oleh rezim komunis Rusia. Di tempat lain kaum muslimin secara sporadis, seperti di Jammu Kashmir, Pattani, dan Moro Philipina, juga mengalami penindasan. Barat memang hipokrit. Hipokrisi Barat makin nyata melihat sepak terjangnya akhir-akhir ini.

Barat begitu peduli terhadap pelecehan HAM di Indonesia. Satu orang Marsinah, puluhan korban insiden Dili mereka ributkan. Tapi ratusan ribu orang tewas mengenaskan, puluhan ribu wanita Bosnia diperkosa di depan hidung mereka, mereka diam. Alih-alih memberi kesempatan pada Bosnia untuk membela diri secara wajar, ini malah diembargo. Perbuatan kejam Barat ini tak ubahnya mengikat tangan dan kaki Bosnia sambil membiarkan Serbia memukuli sepuasnya.

Bila AS dan PBB begitu tangkas mengambil langkah mengusir Irak dari Kuwait, tapi mengapa membiarkan Israel terus mencaploki tanah Palestina dan Serbia menggempuri Bosnia? Terakhir AS malah memveto sebuah resolusi (ingat hanya resolusi – bukan aksi) yang mengecam Israel atas rencana mengambil 53 hektar tanah Palestina. Barat menyerukan demokrasi tapi menghentikan kemenangan obyektif FIS di Aljazair. Dengan adanya kezaliman dan hipokrisi Barat di atas, semestinya dengan mudah menunjukkan kepada umat akan lemahnya kaum muslimin tanpa persatuan serta tabiat asli kafir Barat yang tidak ridha akan kemajuan Islam.

Ketiga, terbentuknya Eropa Bersatu. Seperti dimaklumi, beberapa waktu silam di Maastricht telah disepakati deklarasi bagi penyatuan secara politik, ekonomi dan militer 14 negara Eropa Barat. Agaknya mereka sadar bahwa di masa datang negara nasional tidak akan lagi mampu mengatasi persoalannya sendiri. Untuk itu diperlukan kesatuan dengan negara-negara nasional lainnya. Dan kini beberapa butir kesepakatan itu mulai diujudkan.

Diantaranya adalah dalam hal keimigrasian. Kendati baru sebatas 7 negara, disepakati visa salah satu negara bisa digunakan untuk memasuki 6 negara lainnya. Menjadi penting untuk disadarkan kepada umat, bila 14 negara Eropa tanpa argumen syar’iy saja dapat bersatu, mengapa kaum muslimin yang wajib secara syar’iy  bersatu di bawah satu kepemimpinan dalam daulah khilafah, tidak? Umat Islam dengan bodohnya malah lebih suka melanggengkan tradisi perpecahan. Untuk naik haji yang notabene pergi ke wilayah Islam sendiri saja misalnya, masih diperlukan paspor dan visa.

2.    Kondisi Nasional

Hal yang kurang lebih sama dengan pergolakan di dunia internasional, terjadi juga di sekitar kita. Dengan garis kemiskinan 500 rupiah, di Indonesia yang kapitalistik terdapat 28 juta orang miskin. Bila garis tersebut dinaikkan menjadi 1000 rupiah (sebab apa yang bisa diperbuat dengan 500 rupiah sehari), terdapat 120 juta rakyat miskin; 20 juta di kota, sisanya di desa. Menjadi pertanyaan besar, inikah hasil “pembangunan” selama 25 tahun terakhir? Ini penderitaan rakyat di bidang ekonomi. Di bidang hukum, rakyat makin ragu akan kebenaran hukum demi keadilan.

Sebab, kenyataan yang ada ada sepanjang hukum menyangkut rakyat kecil, keputusan acap mengecewakan (tengok saja kasus Kedung Ombo, kasus tanah Irian Jaya dan sebagainya). Semetara segelintir orang menikmati kekayaan luar biasa akibat hak-hak istimewa yang diperoleh melalui kolusi dengan birokrat. Fenomena konglomerasi dan monopoli mewarnai derap laju ekonomi Indonesia, seiring semakin lajunya pula ketidakadilan di segala bidang.

Belum lagi praktek ekonomi ribawi yang makin mencengkeram negeri berpenduduk mayoritas muslim ini. Kriminalitas dan pornografi semakin meningkat. Seks bebas dan perzinahan semakin menjadi hal lumrah. Maraknya fenomena generasi koplo adalah pertanda serius degradasi moral di kalangan remaja.

Semua itu menjadi bahan yang empuk untuk menunjukkan kerusakan sistem selain Islam dan keharusan umat Islam kembali kepada agamanya. Secara demikian, upaya transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy tidak terlalu sulit dilakukan.

Hambatan

Upaya transformasi sosial yang secara teoritis mudah dilakukan mengingat dua pilar kekuatan Islam dengan kondisi internasional dan nasional yang mendukung, secara faktual ternyata berhadapan dengan sejumlah hambatan. Diantaranya adalah:

1.    Sistem kufur dengan penguasa yang dzalim

Sistem kufur yang mengatur seluruh sendi kehidupan, membuat kaum muslimin hidup seperti dalam kubangan lumpur. Secara alami, siapa saja pasti ikut kotor. Hanya mereka yang berupaya keras menghindari dari kotoran dan membersihkan diri terus-menerus saja yang relatif sedikit terkena imbasnya. Ia mungkin tidak makan riba, tapi terkena debu riba; tidak suka alkohol, tapi dikeroyok pemuda yang habis minum alkohol; tidak pernah berzina, tapi terkena AIDS akibat darah yang ditransfusikan ke dalam tubuhnya telah terkontaminasi virus HIV.

Artinya, sistem yang buruk secara alami menghasilkan manusia yang buruk. Ini adalah hambatan terbesar. Setiap upaya transformasi menuju masyarakat Islamiy akan berhadapan dengan tembok besar berupa sistem jahiliyah dengan segenap infrastrukturnya hingga tingkat desa bahkan RT, yang mencengkeram bidang politik, ekonomi, pendidikan, pemerintahan, media massa dan sebagainya.

Secara praktis sistem kufur telah menghasilkan sistem hukum kufur dimana kaum muslimin sebagai rakyat mau tidak mau harus tunduk kepadanya. Sementara secara ideologi, sistem kufur dengan kemampuannya terus menanamkan pemahaman-pemahaman (cinta tanah air, pengabdian pada bangsa dan negara, kemustahilan menerapkan hukum salah satu agama mengingat masyarakat negeri ini plural dan sebagainya) ke tengah masyarakat. Hal ini tentu saja membius dan meracuni umat, menjadikan umat semakin teralienasi dari Islam.

2.    Media komunikasi massa
Tidak diragunak lagi ketangguhan peran media massa dalam pembentukan opini publik. Dengan kontrol yang demikian ketat. Sulit mengharap pada media massa yang ada, terutama TV untuk benar-benar berfungsi dalam pembentukan opini publik secara Islamiy. Yang baru dilakukan adalah memberikan porsi (kecil) untuk kajian atau acara keislaman. Sementara, sisanya yang lain lebih banyak untuk acara atau sajian yang tidak Islamiy. Hal ini sama saja menyiram sedikit air bersih ketubuh orang yang kotor, tapi membiarkan ia tetap di kubangan lumpur tadi.

3.    Pemimpin Islam yang terkotorkan

Menjadi tabiat umat mengikuti pemimpinnya atau orang yang ditokohkan. Upaya transformasi menuju masyarakat Islamiy semakin sulit dilakukan bila pemimpin-pemimpin Islam yang ada justru menjadi penentang yang paling keras upaya menuju tegaknya sistem Islam. Bahkan dia pula yang menolak mentah-mentah, misalnya pemberlakuan hukum Islam. Sementara, di saat yang sama ia malah mempropagandakan fikrah yang tidak Islamiy seperti mengangkat paham kebangsaaan seraya mengatakan kelompok Islam sebagai primordial.

4.    Kelemahan fikrah

Upaya transformasi menuju masyarakat Islam semakin berat dilakukan bila sedikit saja kelompok yang bekerja di bidang ini. Apalagi bila itu dilakukan tidak dengan konsentrasi penuh, karena terpecah menangani bidang lain yang menurut penilaiannya urgen. Bila demikian, ini tak ubahnya memasak air sepanci besar dengan hanya sebuah lilin kecil. Kapan masaknya?

Sementara, arah transformasi sosial umat juga terpecah. Setidaknya menjadi tiga kelompok :

Pertama, pro status quo (kelompok jumud). Kelompok ini menganggap sistem yang ada sekarang sudah final dan yang terbaik. Kalau pun ada kelemahan. Dikatakan hanya ekses dan dilakukan oleh oknum.

Kedua, kelompok reformasi sekuler. Menurut mereka, yang ada sekarang memang harus dirubah, tapi bukan menuju sistem Islam karena itu berarti memunculkan “Islam politis” yang tidak demokratis.

Dan Ketiga, adalah kelompok reformasi menuju tatanan Islamiy. Bagi mereka Islam bukan hanya agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur individu dengan tuhannya, tapi lebih dari itu mengatur juga hubungan antar manusia dalam masyarakat. Oleh karenanya Islam harus hadir sebagaimana mestinya. Pada kelompok ketiga ini juga terdapat beberapa varian.

Terpecahnya tubuh kaum muslimin menjadi tiga kelompok berkaitan dengan arah transformasi tersebut menunjukkan betapa kelemahan fikrah Islam di kalangan umat sudah demikian parah. Hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah, dimana setelah runtuhnya Khilafah Utsmani, secara fisik umat Islam terpecah menjadi puluhan negara, sedang secara intelektual mengalami apa yang disebut Dr. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai perancunan Barat (westoxciation).

Umat Islam bukan saja tidak mampu melakukan dialog secara seimbang dan mencounter sesat pikiran Barat, malahan terpengaruh dan tercerabut dari khasanah pemikiran Islam itu sendiri. Dicontohkan, bagaimana para ekonom muslim fasih melafalkan teori-teori sistem ekonomi kapitalis tapi asing terhadap sistem ekonomi Islam; kalau pun dipaksa berbicara tentang sistem ekonomi Islam, mereka hanya berputar-putar pada masalah zakat menganggap bahwa zakat bisa menyelesaikan segalanya. Lalu, di bidang politik para teoritikus politik muslim juga seperti “dosa” bila tidak melafalkan demokrasi.

Jadi pengaruh Barat sudah demikian jauh, bukan hanya menyangkut substansi pemikiran saja, tapi juga pada istilah-istilah. Yang paling parah adalah pengaruh paham nasionalisme. Paham ini demikian merasuk, sehingga setiap upaya transformasi masyarakat pasti dibaca dan dirancang dalam bingkai kebangsaan dan nasionalisme; atau paling jauh dalam bingkai demokratisasi. Padahal, ketika memulai pembicaraan dengan bingkai itu seketika itu juga kita telah meninggalkan Islam. Sebab, mana bisa Islam dirujukkan dengan paham kebangsaan dan demokrasi?

Kelemahan fikrah ternyata tidak hanya terjadi di kalangan awam atau intelektual didikan Barat, tapi juga terjadi di kalangan ulama atau aktifis gerakan Islam. Yakni, ketika para ulama juga tidak mampu mengemukakan fikrah Islam secara meyakinkan tentang sistem berbagai sendi kehidupan (politik, ekonomi, sosial). Jadilah Islam ditangkap sekadar ide di bidang ibadah dan akhlaq.

Sementara itu, di kalangan gerakan terjangkiti pula penyakit ”serba Islam” (ekonomi Islam, politik Islam, pemerintahan Islam dan jargon-jargon lain), tanpa mampu menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimana sistem ekonomi atau pemerintahan Islam itu. Walhasil, jadilah gerakan itu sekumpulan orang yang penuh cita-cita tapi tidak mampu mendefnisikan bentuk cita-cita itu sendiri secara gamblang. Bagaimana transformasi sosial ke arah Islam bisa dilakukan bila para penggeraknya sendiri tidak paham sistem masyarakat Islam?

5.    Kelemahan thariqah

Hambatan transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy berikut adalah menyangkut metode (thariqah) menuju ke titik cita-cita. Ada cukup banyak orang atau kelompok yang mengininginkan terbentuknya kehidupan Islamiy, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya; atau karena tidak tahu bagaimana cara yang ditetapkan Islam, ia menentukan sendiri cara yang menurutnya benar.

Akibat tak tergambar bagaimana proses transformasi itu berlangsung, maka sering kita mendengar komentar terhadap cita-cita tegaknya masyarakat Islam sebagai “utopis”, “tidak mungkin” atau “bagaimana mungkin”, “apologia”, “dongeng”. Bila keraguan itu sebatas perasaan pribadi barangkali tidak terlalu masalah, tapi bila itu kemudian disebarluaskan, tentu menjadi kontra-produktif bagi upaya keras meyakinkan umat akan wajibnya menegakkan kehidupan Islam.

Dari sini, penting sekali bagi para pengemban dakwah untuk meneguhkan keyakinan diri bahwa kehidupan Islam pasti tegak.

Pertama karena itu diwajibkan Allah;
Kedua, terdapat sejumlah dalil yang menceritakan masa depan Islam;
Ketiga, secara rasional sistem yang terbaiklah (Islam) yang akan tampil.

Kenyataan masyarakat semestinya tidak dijadikan sebagai sumber (dalil) keyakinan, melainkan sebagai obyek bagi perubahan. Jadi salah besar orang yang menyandarkan keyakinannya pada realitas. Marx yang kafir saja tidak, apalagi umat Islam.

Tepat sekali pernyataan M. Husain Abdullah yang menyatakan bahwa para pengemban dakwah harus menghapus kata “tidak mungkin” dari dalam benak bagi tegaknya masyarakat Islam. Semua hal mungkin terjadi, bila Allah menghendaki.

Tantangan

Jadi apa yang harus kita lakukan dalam kondisi seperti tersebut di atas, guna mentransformasi masyarakat yang ada menuju masyarakat Islamiy? Secara ringkas langkah itu bisa diformulasikan: menonjolkan kekuatan dan mengeliminasi hambatan. Syekh Abdul Qadim Zallum (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir) menyebut yang pertama dan utama adalah perubahan pemikiran.

Dalam teori perubahan sosial mana pun juga, yang pertama harus terjadi adalah perubahan bahkan revolusi pemikiran masyarakat (al inqilab al-fikri). Inilah transformasi tahap pertama. Perubahan pemikiran ini bertujuan untuk menanamkan pemahaman umat akan ajaran Islam. Dan menjelaskan Islam pada umat, sama saja memanggil fitrah mereka berupa kecenderungan kepada kebaikan menurut pandangan Islam (hanifan musliman).

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah cara penjelasan yang bagaimana agar mudah dicerna oleh umat, menggugah akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan mereka, sehingga mereka sendiri menyadari bahwa kembali kepada Islam adalah suatu kemestian. Bila pemikiran yang benar telah tertanam ia akan menjadi filter efektif guna menyaring fikrah sesat yang berkembang deras di era globalisasi ini.

Bersamaan dengan itu, perlu pula dibersihkan debu-debu pemahaman yang tidak Islamiy. Selama pemahaman sesat itu masih ada, maka kesadaran Islamiy tidak akan sepenuhnya bisa diujudkan. Langkah ini bisa ditambah dengan memaparkan kenyataan empirik kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem sesat yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Syekh Taqiyyudin An Nabhani (At Takattul Hizbiy) salah satu tolok ukur keberhasilan kelompok dakwah adalah apabila dalam dakwanya berhasil menimbulkan amarah masyarakat akan kerusakan masyarakat dan keinginan untuk kembali kepada Islam. Pekerjaan ini memang tidak mudah, sebab pada saat yang sama penguasa dzalim secara sistemik dengan segenap perangkatnya (media massa, legalitas) terus menanamkan pemahaman tidak Islamiy, terkadang dengan menggunakan lidah tokoh muslim (para ulama), serta menjaga paham itu agar tetap dipeluk oleh rakyat.

Bila kita bekerja menanamkan Islam, sementara sistem yang ada justru sebaliknya, maka akan terjadi perang pemikiran. Menjadi tantangan bagi kita yang memiliki kualitas peluru yang lebih baik untuk memenangkan perang ini. Sebab secara sunnatullah, pemikiran yang benar akan dengan sendirinya menyingkirkan pemikiran yang salah. Yang salah tak ubahnya seperti sarang laba-laba (kelihatan canggih tapi ditiup sedikit saja berantakan).

Perlu dikembangkan kiat-kiat jitu dengan uslub (cara) dan wasilah (sarana) yang tepat berdakwah di tengah masyarakat modern sekarang ini teknologi komunikasi tidak perlu dihindari, bahkan semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan Islam. Perlu usaha sungguh-sungguh untuk menggunakan perangkat audio visual dan peralatan telekomunikasi canggih bagi kepentingan dakwah. Di era di mana kontak langsung antarpersonal semakin jarang dilakukan, penggunaan media untuk dakwah mutlak diperlukan.

Perlu dikembangkan pula sentra-sentra dakwah baru, seperi di kantor-kantor swasta dan pemerintah, hotel dan pabrik serta tempat-tempat konsentrasi masyarakat baru, melengkapi basis dakwah yang ada selama ini seperti masjid, majelis taklim, pesantren dan sebagainya. Dakwah harus pula mengantisipasi pertumbuhan lingkungan semacam kompleks-kompleks perumahan baru, termasuk kota-kota jadian, yang kebetulan lebih banyak dibangun oleh pengembang (developer) non muslim.

To be continued...

Jumat, 24 Juli 2015

Agenda Umat Menjelang Abad 21

Jumat, Juli 24, 2015 Posted by ./rex , No comments

Umat dewasa ini mengalami kemunduran yang demikian parah-sesuatu yang tidak pernah dialami oleh umat Islam terdahulu. Secara fisik, setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani (1924), wilayah Islam yang semula terbentang sangat luas-di seluruh jazirah Arab hingga Afrika Utara bahkan sebagian Eropa sampai semenanjung Balkan, sebagian Asia selatan, Asia Tengah, dan Asia Timur sebagian besar kalau tidak semua, dikuasi penjajahan Barat (dan timur).

Dan kini, wilayah-wilayah itu menjadi puluhan negara “merdeka” kecil-kecil. Secara intelektual umat Islam mengalami apa yang disebut Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation (peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama umat Islam secara sengaja dipisahkan dari ajaran Islam oleh pejajah. Dalam proses alienasi umat Islam dari ajaran agamanya, peracunan Barat semakin gencar berlangsung. Secara intelektual umat Islam menjadi sangat lemah, dan karenanya, bukan saja tidak mampu mengkanter sesat pikiran Barat, tetapi juga tidak mampu melakukan dialog intelektual secara seimbang.

Impotensi intelektual ini jelas bermuara pada kemunduran total di bidang politik yang terjadi semenjak tuntuhnya khilfah Utsmani. Dampaknya dirasakan amat buruk bagi pertumbuhan umat Islam lebih banyak menjadi konsumen ideologi Barat (atau Timur), serta tidak dapat melihat khazanah pemikiran Islam sendiri yang kaya raya.

Setelah perang dunia Pertama dan Kedua, dunia Islam boleh dikatakan mengalami dua tahap revolusi. Revolusi yang pertama merupakan pembebasan wilayah-wilayah Islam dari kungkungan politik dan militer Barat. Diakhiri dengan munculnya negara-negara “merdeka” seperti Mesir, Syiria, Yordania, Irak, Lybia, negara-negara teluk dan sebagainya di bekas wilayah Islam.

Setelah tahap ini, umat Islam seolah terperanjat dengan peralihan dari suasana penjajahan ke suasana kemerdekaan. Karena alienasi terhadap ajaran Islam dan peracunan Barat telah demikian lama berlangsung, maka banyak di kalangan umat Islam terutama para pemimpinnya, lantas beranggapan bahwa imitasi (peniruan) dalam segala bidang kehidupan, termasuk di bidang ideologi politik, adalah jalan keluar dari kemelut di negeri itu. Sebagian negeri Islam lantas mengambil sosialisme sebagai ideologi dan sistem sosial mereka, sebagian lagi menerapkan kapitalisme (demokrasi liberal).

Imitasi ideologis semakin menunjukkan bentuknya setelah negeri-negeri itu, dibantu para ideolog yang menimba “ilmunya” (tanda petik karena sebenarnya bukan ilmu tapi kesesatan) dari Universitas Barat, berhasil merumuskan “ideologi sendiri”, yang sebenarnya tetaplah berupa ideologi non Islam dalam wajah yang lain. Di beberapa negara, agar ideologi itu bisa diterima oleh masyarakat Islam, dilakukanlah Islamisasi ideologi. Ideologi Baath di Irak dikatakan tahap lanjut dari Islam. Akan tetapi, tetap saja upaya itu tidak mampu menyelesaikan masalah dan mengentaskan umat dari kejatuhannya.

Langkah tersebut justru menyulut konflik berkepanjangan di bidang pemikiran melawan paham Islam di kalangan umat yang memang tidak mudah begitu saja dihilangkan. Juga konflik dalam kehidupan praktis berkaitan dengan penataan kehidupan umat yang makin dirasakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Disinilah kemudian terjadi perang pemikiran (al-ghazwul al-fikriy) yang menuntut adanya revolusi tahap kedua.

Jika revolusi tahap pertama merupakan pembebasan umat dari belenggu penjajahan, maka revolusi tahap kedua adalah membangun kesadaran Islam (al-wa’yu al-Islamiy) di tengah peperangan pemikiran tadi. Yakni kembalinya identitas, khazanah dan pemikiran Islam ke dalam diri kaum muslimin, setelah terbukti imitasi terhadap ideologi Barat bukan saja gagal dari segi konsepsi, juga tidak memberikan hasil positif dari segi praktis lahir maupun batin bagi kehidupan umat Islam. Revolusi thap kedua digerakkan menuju terwujudnya kehidupan Islam sejati.

Pangkal Kemunduran Umat

Jelaslah bahwa tidak adanya kehidupan Islam dimana didalamnya diterapkan syariat Islam di semua sendi kehidupan setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani, menjadi pangkal utama kemunduran umat dewasa ini. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (dalam bukunya, Kaifa Hudimatil Khilafah) menyebut hal ini sebagai problematika umat Islam (qadhiatu al-muslimin al-mashiriah). Intinya bagaimana memberlakukan kembali hukum-hukum Allah (i’adatu al-hukmi bi ma anzala Allah) di semua sendi kehidupan.

Setelah runtuhnya payung Islam itu, bertubi-tubi umat Islam memang didera berbagai persoalan. Yang utama adalah kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu sendiri, karena semenjak tidak adanya kehidupan Islam, umat memang tidak lagi dibina keIslamannya secara praktis. Hal itu pada gilirannya menyebabkan racun-racun pemikiran sesat Barat dengan mudah merasuk ke dalam tubuh umat. Dan racun yang paling dahsyat adalah pemikiran sekulerisme.

Apa itu sekulerisme? Menurut Muhammad Qutb (Ancaman Sekulerisme,1986) sekulerisme diartikan sebagai iqomatu al-hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini (membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam)). Pemikiran sekulerisme berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan.

Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekali pun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran gereja yang dogmatis.

Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak merubah pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet, bukan bumi seperti yang didoktrinkan gereja selama ini, dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah agama (ritual), sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, saintek, ekonomi, dan sebagainya) harus steril dari agama. Inilah cikal bakal sekulerisme.

Tapi satu hal yang harus diinsyafi benar adalah, bahwa gugatan ini sebenarnya terjadi khas pada agama kristen yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Tentu sebuah keanehan besar bila gugatan itu lantas dialamatkan pula pada Islam agama yang sempurna bagi paripurna yang diridhai Allah untuk seluruh umat manusia. Dan lebih aneh lagi bila kaum muslimin ikut-ikutan menjadi sekuler.

Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan dunia. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syari’at dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syari’at di bidang ekonomi, sosial politik misalnya. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.

Bila Islam tidak lagi dijadikan sebagai asas pengaturan struktur kehidupan masyarakat (siyasiy),
maka sebagai gantinya, muncullah asas-asas lain yang mengatur berbagai bidang kehidupan umat. Diantaranya :

1. Kapitalisme di bidang ekonomi

Hampir seluruh negara di dunia, terlebih setelah rutuhnya sosialisme-komunisme Uni Sovyet, menganut paham kapitalisme sebagai sistem ekonominya. Dari segi praktis, kapitalisme memang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi ternyata gagal dalam pemerataan.
Sistem kapitalisme juga telah menyeret umat pada pola “asas manfaat”. Asas ni mengajarkan bahwa yang baik adalah yang memberikan manfaat (materi dan kenikmatan jasmani), dan yang sebaliknya adalah buruk.

Nilai-nilai Islam dengan tolak ukur halal dan haram, oleh karenanya menjadi barang asing dan terasa aneh. Umat tidak lagi memperhatikan aturan Islam dalam cara memperoleh uangnya dan bagaimana membelanjakannya. Umat yang telah terbiasa bergaul dengan sistem ekonomi ribawi, tentu menjadi merasa aneh bila diserukan untuk menjauhi riba.

Demikian pula dengan suap dan komisi, sepertinya sudah menjadi bagian yang sulit dipisakan dari derap perekonomian negara. Kapitalisme telah merusak umat : fisik dan non fisik. Kehidupan hedonistik dan materialistik makin menggejala.

2. Westernisme dengna intipermsivisme di bidang budaya

Di bidang budaya, kehidupan hedonistik sebagian buah dari kehidupan yang materialistik makin menjadi ciri masyarakat. Dalam hal ini Barat seolah menjadi kiblat “kemajuan” kearah mana masyarakat harus menengok. Musik, Mode, Makanan, Film, dan Gaya Hidup Barat apalagi setelah adanya TV Swasta makin deras menggejala. Kaum muslimin yang tidak memiliki kepribadian kuat mudah sekali tercemar, dan memunculkan pribadi yang terpecah (split personality).

Ia muslim, tapi tingkah lakunya seperti artis Barat yang sering ia lihat di layar kaca. Benar, ia memang pengikut Nabi muhammad SAW., hanya saja idolanya bukan lagi Nabi tapi Bon Jovi. Dan bukan Al-Qur’an yang dihafal tapi bait-bait lagu yang diteriakkan Bon. Penampilanya juga serupa benar dengan idolanya itu. Rambutnya gondrong, celananya jeans belel, dan tak lupa anting di telinganya. Yang wanita, pakaiannya juga selalu tampak modis. Tidak peduli apakah model pakaian yang dipakai itu menutupi aurat atau tidak. Malu hati rasanya bila tidak mengikuti arus mode, dan itu tentu saja termasuk bagaimana mengatur rambut agar selalu nampak “in”.

Lantas bagaimana cara mereka bergaul? Tidak sulit. Film Melrose Place yang hadir seminggu sekali atau film lain yang serupa, telah lebih dari cukup mengajarinya. Iklan yang telah menjadi nafas kapitalisme telah pula menghembuskan budaya hedonistik dan mencitrakan gaya hidup baru. Iklan makanan coklat, atau minuman ringan seolah-olah menunjukkan begitulah kira-kira cara pergaulan remaja “modern”. Maka, jadilah ia seorang muslim dengan gaya hidup si Boy : rajin shalat, rajin juga maksiat.

3. Nasionalisme di bidang politik

Nasionalisme diartikan oleh Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Islam, 1986) sebagai “suatu keadaan pada individu di mana ia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”. Nasionalisme mengunggulkan paham kebangsaan sekaligus mensubordinasikan paham lain, termasuk aqidah Islam. Bagi seorang nasionalis, bangsa adalah segalanya, dan tidak ada yang lebih penting dari upaya meraih kejayaan bagi bangsanya. Kematian demi bangsa adalah setinggi-tinggi kemuliaan.

Paham ini sebenarnya kosong tanpa substansi sebab apa arti “cinta pada tanah air”, ”mengabdi pada bangsa dan negara” sesungguhnya tidaklah pernah ada ia hanya merupakan dzat rekaan yang bersifat abstrak dan tentu tidak pernah memberikan manfaat atau mudharat kepada yang “mencintainya” atau pun yang “mengkhianatinya”. Tapi kendati demikian, paham ini kini telah merasuk demikian dalam pada tubuh umat dan telah menjadi biang perpecahan umat Islam seluruh dunia.

Bagi seorang muslim jelas, pengabdian hanyalah kepada Allah semata. Tidak ada pengabdian selain kepada Allah, dan ujud pengabdian itu berupa ketaatan kepada segenap perintah dan larangan-Nya. Bila segenap aktifitas hidup didedikasikan semata untuk menjalani aturan Allah, itulah yang disebut ibadah. Inilah semulia-mulia kehidupan, dan ini pula yang disebut pengabdian. Islam memang mengakui adanya keragaman suku dan bangsa.

Tapi Islam menentang keras sukuisme dan nasionalisme. Tentang ini Rasulullah SAW. Bersabda ;
“Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada ashabiyah (golongan), yang berperang atas ashabiyah, dan yang mati atas ashabiyah.”

Nasionalisme menyebabkan kaum muslimin merasa lebih terikat kepada bangsanya masing-masing daripada Islam. Ia rela keyakinan agamanya dikorbankan demi keutuhan bangsanya. Ia juga merasa lebih bersaudara dengan sebangsanya daripada dengan yang seaqidah. Penderitaan muslim Bosnia akan dirasakan sebagai persoalan bangsa Bosnia; bukan persoalan kaum muslimin. Ia lebih peka terhadap persoalan yang akan mengancam bangsanya ketimbang mengancam umat Islam.

Ia mudah saja bergaul dengan orang atau negara kafir hanya semata itu menguntungkan bangsanya, kendati negara itu menindas umat Islam. Juga teramat jelas, nasionalisme menghambat persatuan umat Islam sedunia. Dari sini bisa dimengerti mengapa umat Islam, termasuk yang berada di Timur Tengah, sulit sekali bersatu untuk misalnya, melawan Israel. Ketika kepentingan nasionalnya terpenuhi, mereka merasa konflik dengan Israel sudah selesai. Mesir kini berdamai dengan Israel setelah gurun Sinai kembali ke pangkuannya.

Begitu juga Yordania setelah mereka mendapatkan kembali Tepi Barat. Tidak peduli, walau hingga saat ini tanah Palestina masih dikuasai Israel dan kaum muslimin di sana masih menderita akibat penindasan Zionisme. Organisasi semacam OKI atau Liga Arab tak mampu berbuat banyak dalam menggalang persatuan umat, karena negara anggotanya lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Nasonalisme juga berdampak sangat serius di bidang hukum. Bagi seorang nasionalisme, hukum yang layak adalah hukum nasional bukan hukum agama apalagi dari satu agama. Demi kepentingan persatuan nasional, semua agama harus disamadudukkan (sinkretisme).

4. Sinkretisme di bidang agama

Paham nasionalisme tidak akan tegak tanpa disertai penyebaran paham sinkretisme yang intinya “menyamadudukan semua agama”. Sinkretisme sebagai anak cabang pemikiran sekuler berdiri di atas tiga doktrin.

Pertama, dikatakan bahwa kebenaran agama itu bersifat subyektif. Artinya, suatu agama pasti dinilai sebagai yang paling benar oleh pemeluknya masing-masing, dan agama lain salah. Karena semua agama bersifat demikian, maka seseorang tidak mungkin dipaksa mengikuti aturan selain yang menjadi agamanya. Semua agama harus dipandang sama kedudukannya,

Kedua, sebagai konsekuensi dari doktrin yang pertama dimana semua agama kedudukannya sama, maka suatu agama tidak boleh mendominasi agama yang lain. Sebab, itu berarti memaksa seseorang untuk mengikuti aturan yang berasal dari bukan agamanya.

Ketiga, oleh karenanya maka untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai pemeluk agama, diperlukan aturan bersama yang dinilai mampu mengadaptasi semua agama atau paham yang berkembang di tengah masyarakat.

Pemikiran sinkretisme menyebabkan sebagian umat Islam “memandang rendah”, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi” aturan agamanya sendiri. Ia merasa menjadi orang modern bila turut beranggapan bahwa aturan-aturan masyarakat yang “demokratis dan aspiratif” adalah yang lepas dari agama yang ada, termasuk Islam.

Tidak lupa ia turut mengecam aturan Islam sebagai “ketinggalan jaman, kejam, tidak manusiawi serta tidak cocok untuk masyarakat plural”, hanya karena aturan Islam diturunkan empat belas abad lalu di negeri Arab yang secara sosiologis katanya, berbeda dengan tanah airnya.

Disebut toleransi – dan itu sebuah kemulian – bila orang mau mengerti aspirasi agama lain. Misalnya dengan menghadiri natal bersama, nyepi atau perayaan lain bersama serta bersedia melepas beberapa prinsip agamanya demi persatuan; dan disebut fanatik (buruk) bila orang terlalu kuat berpegangan pada agamanya.

Dengan bersikap demikian, sadar atau tidak, kendati muslim sesungguhnya ia telah menjadi lawan agama Islam. Ia telah terjerumus demikian jauh dalam jurang kesesatan. Ia lupa, seorang muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah.

Oleh karenanya, terhadap agama lain sikap yang harus diambil adalah dakwah, yakni mengajak pengikutnya agar memeluk Islam, sebagaimana ajakan Rasulullah SAW. Dalam suratnya kepada Heraclius : Aslim Taslam (masuklah ke dalam Islam, niscaya kamu akan selamat). Toleransi dikenal dalam Islam tapi tidak dalam arti seperti tersebut di atas. Perlu diingatkan pula bahwa Islam adalah agama untuk semua manusia, yang jika ditegakkan akan membawa kebaikan bersama.

Fakta sejarah di masa lalu ketika Islam berkuasa di berbagai wilayah, misalnya di Irak, Mesir, Spanyol dimana komunitas non Muslim juga hidup di dalamnya, menunjukkan hal itu, Mereka hidup sejahtera, sama seperti komunitas Muslim. Islam tidak akan ketinggalan jaman, karena ia diturunkan oleh Dzat yang Maha mengetahui dan telah menetapkannya sebagai agama terakhir. Menyatakan Islam “tidak cocok” untuk masyarakat yang hidup 14 abad kemudian, sama saja menuduh seolah Allah tidak tahu akan perkembangan masyarakat di masa depan dan tidak tahu bagaimana mengaturnya!

Akibat sinkretisme, sebagai komunitas mayoritas di Indonesia, umat tidak merasa apa-apa menyaksikan kehidupan yang tidak diatur dengan Islam. Ia tidak juga segera sadar akan kekeliruan pemikirannya kendati kenyataan menunjukkan, aturan bersama yang ada tidaklah mampu membawa masyarakat kepada kebaikan. Berbagai problematika (di bidang ekonomi muncul kesenjangan, harga melambung, monopoli dan sebagainya budaya Barat dan sebagainya) yang silih berganti muncul di tengah masyarakat, bahkan mungkin dia termasuk salah satu korbannya, tidak cukup mengingatkan bahwa Islam adalah solusinya. Sinkretisme telah membuatnya buta.

Semua asas pengaturan kehidupan di atas tidaklah muncul dari satu kesatuan pemikiran. Tapi sekedar berdasar manfaat, yang diduga mungkin atau bisa diperoleh di bidangnya masing-masing. Oleh karenanya, sekulerisme pada tataran praktis banyak sekali menimbulkan kontradiksi di tengah masyarakat.

Di bidang pendidikan, satu sisi diinginkan siswa yang berpribadi luhur, kuat agamanya, tapi tidak ada atau sedikit sekali langkah ke arah itu (apa yang bisa diharap dari pelajaran agama 4 sks sampai tingkat sarjana di perguruan tinggi?). ketika para siswi ingin mewujudkan perintah agama (memakai jilbab, duduk terpisah laki dan perempuan), ternyata dihambat dan malah dituduh ekstrem, fanatik serta tuduhan lainnya yang menyakitkan.

Di bidang budaya, satu sisi kita prihatin terhadap meningkatnya kriminalitas dan diinginkan masyarakat yang mulia, sopan, dengan remajanya yang berkepribadian teguh, tapi di sisi lain tontonan di TV atau bioskop merajalela penuh dengan kekerasan dan kemaksiatan disertai ajakan seks dan pergaulan bebas. Satu sisi polisi mengeluhkan akibat alkoholisme dan kemudian membuat operasi menyapu minuman di warung-warung, tapi industri minuman keras jalan terus hanya karena alasan cukai dan tenaga kerja. Satu sisi menginginkan pemerataan, tapi sisi lain monopoli swasta makin mencengkram.

AIDS diperangi, tapi kompleks-kompleks pelacuran tetap dibiarkan laris. Katanya negara berdasarkan pada ketuhanan, tapi begitu banyak aturan negara yang menyimpang dari aturan Tuhan. Bila demikian lantas tuhan yang mana yang dimaksud oleh penduduk mayoritas negeri ini? Juga, mengapa mereka yang memperjuangkan tegaknya aturan Tuhan – sesuai asas yang ada – malah dituduh subversif? Qira’ah al-Qur’an dilombakan dalam MTQ, tapi ajarannya diabaikan.

Penyadaran : Agenda Utama Umat

Hanya ada satu cara untuk keluar dari kemelut ini, yakni umat Islam harus bangkit! Tekad itu dan istilah kebangkitan memang mulai menyebar ke tengah umat semenjak dicanangkannya abad 15 sebagai abad kebangkitan Islam. Tapi apa yang disebut bangkit atau kebangkitan, agaknya beragam orang memahaminya.

Syekh Taqiyyudin an-Nabhani menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran secara mendasar (asasiyan) dan menyeluruh (syamilan) menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, serta hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi tingkah laku. Akan terwujud tingkah laku Islamiy bila pada diri seorang muslim tertanam pemahaman Islam.

Dengan demikian kebangkitan umat Islam ke dalam diri umat dan terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam. Untuk itu diperlukan dakwah. Dan dakwah ditengah kemunduran umat seperti sekarang ini – akibat tidak adanya kehidupan Islam – haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (li isti’nafi al-hayati al-Islamiyyah).

Dakwah melanjutkan kehidupan Islam bertujuan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum Islam di bidang ‘aqidah, ibadah, akhlaq, makanan, minuman, pakaian, muamalah (politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya) – ‘audati al-muslimin ila al-‘amal bi jami’i ahkami al-Islam. Dari segi individu, dakwah atau pembinaan kepada umat bertujuan untuk membentuk seorang muslim yang berkepribadian Islam.

Yakni seseorang yang berpikir dan bertindak secara Islamiy. Ia tidak berpikiran kecuali sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak bertindak kecuali sesuai dengan syariat Islam. Harus ditanamkan kepada umat pemahaman aqidah yang benar dan kuat beserta segenap konsekuensi dari orang yang telah beraqidah Islam, yakni taat pada syariat.

Juga, ditanamkan pemahaman atas syari’at Islam itu sendiri, agar dengannya ia mengerti apa tujuan hidup ini, bagaimana menjalaninya; serta bagaimana musalnya, ia harus menjalankan ibadah dengan baik, memilih pakaian yang benar, makanan yang halal, bergaul secara Islamiy, dan bermuamalah secara syari’at. Ia bertindak Islamiy, di masjid, demikian pula semestinya ketika ia berada di kantor, di pasar, dijalan-jalan.

Ia Islamiy ketika shalat, begitu semestinya ketika berdagang, ketika bergaul dengan orang lain. Lebih jauh lagi, pembinaan itu diharapkan menyadarkan umat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur sesuai dengan Islam. Dari segi komunitas, pembinaan kepada umat bertujuan agar dari setiap muslim yang berkepribadian Islam terbentuk kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam hingga terbentuknya masyarakat Islam.

Itulah yang disebut kekeuatan politik (al-quwwatu al-siyasiyah). Hanya dalam masyarakat Islam saja seluruh hukum Islam dapat ditegakkan. Dan hanya dengan terlaksananya seluruh hukum Islam kita dapat merasakan kerahmatan Islam; bukan hanya bagi umat Islam tapi juga mereka yang beragama selain Islam, karena memang Islam membawa rahmat bagi sekalian alam.

Tidak sempurnanya pembinaan terhadap umat hanya akan menghasilkan kepribadian yang tidak utuh. Ia muslim tapi tidak shalat, bahkan dengan mudah menggadaikan kemuslimannya demi sebungkus supermi atau untuk wanita yang dicintainya. Tidak sedikit kita jumpai orang yang dengan ringannya meninggalkan shalat, tidak menunaikan zakat dan melalaikan puasa Ramadhan. Atau, kalau ibadahnya bagus tapi ia tidak atau kurang memperhatikan aturan Islam di bidang lain. Seolah Islam hanya mengatur masalah ibadah, dan keislamannya terbatas hanya pada masalah ibadah saja. Di luar itu, ia merasa bebas berbuat.

Ia misalnya, rajin shalat tapi juga makan riba. Ia bangga dengan titel hajinya, tapi bangga pula dengan pemikiran sekuler dan jiwa nasionalnya; atau bangga dengan kecantikan rambut dan tubuhnya yang dibiarkan terlihat orang lain. Ketika di Mina ia melempar jumrah sebagai simbolisasi perlawanan terhadap setan, tapi sepulang dari Mina ia menjadi teman, bahkan budak setan.

Ia menentang gerakan pemurtadan, tapi menentang pula gerakan yang akan menegakkan syariat Islam di tengah masyarakat. Ia bangga dengan kemuslimannya tapi tidak gelisah sedikit pun tatkala demikian banyak aturan Islam yang ditinggalkan, atau tidak risih melihat kehidupan diatur dengan hukum yang tidak bersumber dari agama yang dipeluknya itu. Ia tahu bahwa sesama muslim bersaudara, tapi tidak sedikit pun ia peduli melihat pembantaian muslim Bosnia, Chechnya dan sebagainya. Bila demikian, lantas dimana makna pernyataan “shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah semata Tuhan semesta alam,” juga kekafahan yang diminta al-Qur’an?

Pembinaan kepada umat yang tidak sempurna juga akan menghambat terbentuknya kehidupan Islam. Karena umat itu sendiri yang akan menjadi batu penghalang upaya ke arah sana. Siapa lagi yang berani menghalangi proses Islamisasi, apalagi di negeri dimana umat Islam mayoritas, bila bukan dari kalangan umat Islam sendiri (dengan berbagai argumen batil) atau kalangan non Islam dengan lidah dan tangan (tokoh) umat Islam.

Isu “pluralisme, primordialisme, fundamentalisme, nilai-nilai kebangsaan” dan sebagainya, selama ini ternyata dilontarkan oleh tokoh-tokoh Islam. Dan sasarannya tidak lain adalah kelompok Islam yang dinilainya “mengandung semangat Islamisasi”. Kepala sekolah yang dulu menghambat jilbab di SMA ternyata juga muslim.

Sementara, tanpa kehidupan Islam bisakah kita berharap munculnya tatanan kehidupan yang baik?
Atau, bisakah kita berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat?

Bila tidak, mengapa kita masih suka berlama-lama hidup dalam kejahiliyahan seperti sekarang ini?
Satu sisi kita mengeluh : hidup makin susah dan makin tidak aman, harga apa-apa naik, kemaksiyatan merajalela, pornografi mudah dijumpai, remaja makin brutal, birokrasi makin tidak bisa diharap, di dunia luar kaum muslimin dibantai dimana-mana dan sebagainya; tapi di sisi lain mengapa kita mendiamkan begitu saja agama Islam yang kita yakini – pasti bisa menyelesaikan semua masalah dan mengatur kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya – teronggok bagai barang antik tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata? Itu sama saja dengan seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tapi obat ditangan hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?

Pada era perang fisik, kita terjun dengan membawa senjata yang dilengkapi dengan berbutir-butir peluru dan mesiu. Tapi yang kita hadapi bukan perang fisik tapi perang pemikiran. Maka semestinya kita terjun sebagai pasukan Islam dengan menembakkan peluru pemikiran Islam, memerangi musuh yang membawa peluru pemikiran sesat. Mulut dan tangan adalah senjata kita, dengan kantong peluru berupa pemahaman Islam yang shahih di otak kita.

Sebagaimana Rasulullah SAW. Membangun peradaban Islam dengan mulutnya. Merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Dalam perang ini musuh Islam menggunakan segenap tenaga dan upaya (jaringan birokrasi, media massa dan sebagainya), maka diperlukan lebih banyak lagi pasukan Islam yang bergerak di tengah umat untuk menyadarkan umat dari tidurnya yang panjang. Hanya melalui umat yang sadar saja bisa diharapkan kebangkitan umat yang hakiki. Insya Allah.

To be continued...

Kamis, 23 Juli 2015

Atheist

Kamis, Juli 23, 2015 Posted by ./rex No comments
*** Cerdas dan tidak pakai emosi ***

Ada seorang Atheist yang memasuki sebuah masjid,
dia mengajukan 3 pertanyaan yg hanya boleh dijawab dengan akal.
Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya, jika menggunakan dalil (naqli) maka justru diskusi ini tidak akan menghasilkan apa-apa...

Pertanyaan atheis itu adalah :
1. Siapa yg menciptakan Allah?? Bukankah semua yg ada di dunia ada karena ada penciptanya?? Bagaimana mungkin Allah ada jika tidak ada penciptanya??

2. Bagaimana caranya manusia bisa makan dan minum tanpa buang air?? Bukankah itu janji Allah di Syurga?? Jangan pakai dalil, tapi pakai akal....

3. Ini pertanyaan ketiga, kalau iblis itu terbuat dari Api, lalu bagaimana bisa Allah menyiksanya di dalam neraka?? Bukankah neraka juga dari api??

Tidak ada satupun jamaah yg bisa menjawab, kecuali seorang pemuda.

Pemuda itu menjawab satu per satu pertanyaan sang atheis :


1. Apakah engkau tahu, dari angka berapakah angka 1 itu berasal?? Sebagaimana angka 2 adalah 1+1 atau 4 adalah 2+2??

Atheis itu diam membisu..

"Jika kamu tahu bahwa 1 itu adalah bilangan tunggal.
Dia bisa mencipta angka lain, tapi dia tidak tercipta dari angka apapun, lalu apa kesulitanmu memahami bahwa Allah itu Zat Maha Tunggal yg Maha mencipta tapi tidak bisa diciptakan??"


2. Saya ingin bertanya kepadamu, apakah kita ketika dalam perut ibu kita semua makan?
Apakah kita juga minum?
Kalau memang kita makan dan minum, lalu bagaimana kita buang air ketika dalam perut ibu kita dulu??
Jika anda dulu percaya bahwa kita dulu makan dan minum di perut ibu kita dan kita tidak buang air didalamnya, lalu apa kesulitanmu mempercayai bahwa di Syurga kita akan makan dan minum juga tanpa buang air??


3. Pemuda itu menampar sang atheis dengan keras. Sampai sang atheis marah dan kesakitan.
Sambil memegang pipinya, sang atheis-pun marah-marah kepada pemuda itu, tapi pemuda itu menjawab :
"Tanganku ini terlapisi kulit, tanganku ini dari tanah..dan pipi anda juga terbuat dari kulit dari tanah juga..lalu jika keduanya dari kulit dan tanah, bagaimana anda bisa kesakitan ketika saya tampar??
Bukankah keduanya juga tercipta dari bahan yg sama, sebagaimana Syetan dan Api neraka??

Sang athies itu ketiga kalinya terdiam...

Sahabat, pemuda tadi memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak semua pertanyaan yg terkesan mecela/merendahkan agama kita harus kita hadapi dengan kekerasan.

Pemuda tadi tidak mencabut pedang, tidak pula teriak-teriak 'atheis goblok..!' ' la'natullah' terkutuk' dan sebagainya...

Dia menjawab pertanyaan sang atheis dengan cerdas dan bernas, sehingga sang atheis tidak mampu berkata-kata lagi atas pertanyaannya..
Itulah pemuda yg Islami, pemuda yg berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengtahuan luas, berfikiran bebas...tapi tidak liberal...tetap terbingkai manis dalam indahnya Aqidah...

Ada yg berkata bahwa pemuda itu adalah Imam Abu Hanifah muda.
Rahimahullahu Ta'ala...

Barakallahu fiikum...

Wallahu 'alam
Back to Top