Sharing for learn...

Minggu, 26 Juli 2015

Prospek dan Tantangan Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Islamiy

Minggu, Juli 26, 2015 Posted by ./rex , No comments
Tulisan ini adalah lanjutan dari Artikel Sebelumnya (klik tulisan ini), agar lebih mudah memahami tulisan ini aku sarankan untuk membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya.

Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi atau mabda’ adalah bagaimana merubah masyarakat sesuai dengan visi dan cita-citanya mengenai transformasi sosial. Tidak hanya Islam, bahkan semua ideologi menghadapi suatu pertanyaan pokok, bagaimana mengubah masyarakat dari kondisi yang ada sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya.

Sebagai sebuah ideologi, Islam juga menderivasikan pemikiran-pemikiran sosialnya dari dalil-dalil syara’ untuk transformasi sosial  menuju tatanan masyarakat Islamiy. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa realitas sosial bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Dan ini berakar pada misi ideologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar pada masyarakat dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai tauhidullah (mengesakan Allah).

Jadi, tidaklah Islamiy misalnya, jika seseorang muslim tak acuh terhadap realitas struktural maupun kultural masyarakatnya, sementara ia tahu bahwa kondisi itu bersifat mungkar.

Menurut Dawam Rahardjo (Intelektual Intelegensia Risalah Cendekiawan Muslim, 1993) setidaknya terdapat dua persepsi mengenai istilah “transformasi”,

Pertama, berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia, yang beralih dari tahap masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Perubahan itu kini tengah berlangsung, terutama dalam masyarakat industri maju di Barat, walaupun dampaknya yang bersifat global sudah pula merambat ke Dunia Ketiga yang kebanyakan masih agraris.

Kajian historis memang menyimpulkan bahwa pada dua atau tiga abad terakhir telah terjadi perubahan fundamental dari masyarakat agraris-tradisional ke masyarakat industrial-modern. Revolusi industri telah menjadi sumber transformasi gelombang kedua, meminjam istilah Alvin Toffler, dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis.

Dan kini, akibat kemajuan luar biasa di bidang transportasi dan teknologi komunikasi, masyarakat dunia tengah mengalami transformasi gelombang ketiga (the third-wave) dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi.

Kedua, istilah transformasi berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar dari suatu masyarakat senyatanya munju masyarakat yang diidealkan. Dalam konteks Islam, transformasi sebagaimana disebut di muka berarti perubahan mendasar pada masyarakat yang ada sekarang (mencakup struktur sosial, budaya dan teknik istilah lain untuk sistem politik dan pemerintahan) menuju masyarakat Islamiy.

Bila 2 (dua) pengertian transformasi di atas digabung, maka transformasi yang tengah kita bicarakan menjadi berarti “perubahan mendasar pada masyarakat yang ada sekarang menuju masyarakat Islamiy di tengah-tengah perubahan besar masyarakat dunia dari tahap masyarakat industri menuju masyarakat informasi”.

Gejala-gejala penting dalam masyarakat industri, menurut Dr. Kuntowijoyo (Paradigma Islam, 1993), adalah perhatian yang besar pada peningkatan produksi dan ekspansi usaha. Proses ini hanya mungkin terselenggara dengan tenaga kerja dan organisasi yang serba besar dalam sebuah zona industri. Pembentukan zona industri mendorong penciptaan lingkungan buatan bagi kehidupan manusia (ingat gejala Lippocity, Bumi Serpong Damai Kota Mandiri, Tigaraksacity, dan city-city yang lain) untuk menampung perkembangan industri (dengan tenaga kerja dan organisasi yang besar) yang menuntut terselenggaranya semua prasarana kehidupan secara terpadu dan efisien. Pada gilirannya masyarakat berkembang kearah spesialisasi dan rasionalisasi intelektual dan sosial.

Ini akibat melonggarnya nilai tradisi, digantikan hubungan yang bersifat rasional, legal dan kontraktual. Lingkungan rumah yang dulu menjadi basis kehidupan di era agraris, karena tuntutan profesionalisme kini digantikan kantor. Interaksi lebih banyak dilakukan dengan teman sekantor ketimbang dengan tetangga. Praktis rumah dan lingkungan tinggal hanya sekedar menjadi tempat istirahat dan dengan pola hubungan antar tetangga yang sangat terbatas.

Dengan kemajuan teknologi informasi yang luar biasa menjadikan dunia seperti tanpa jarak, tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang tengah terjadi di suatu tempat di belahan bumi dengan cepat diketahui oleh kita di belahan bumi sini dan sontak mempengaruhi reaksi kita. Kita ikut geram menyaksikan pemboman brutal milisi biadab Serbia atas kantong muslim Bosnia di Sarajevo.

Atau kita turut meradang mendengar veto AS atas resolusi yang mengecam rencana Israel mencaplok 53 hektar tanah Palestina. Jutaan orang menyaksikan kemenangan kesebelasan Ajax atas AC Milan. Dan jutaan orang ikut terpanaskan menyaksikan aksi panggung Madonna. Jaringan telekomunikasi memperbanyak frekuensi kontak kita. Kita dapat berhubungan dengan lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat dari yang dilakukan manusia sebelum kita. Akibatnya, bangsa-bangsa secara ekonomis, sosial dan kultural menjadi interdependen.

Pertukaran informasi antar penduduk dunia berlangsung cepat dan dalam jumlah yang banyak. Inilah globalisasi. Naisbitt dan Patricia Aburden menyebut tiga F yang akan mengglobal : food, fashion dan fun (makanan, pakaian, dan hiburan). Mc Donald bukan hanya dimakan orang Amerika di Chicago tapi juga orang Ciputat. Model pakaian Mbak Mimin di Malang sama persis dengan model yang ia lihat lewat layar kaca dalam peragaan busana di Milan, Italy, dan Udin, anak Pak Dullah, di desa terpencil sana, sebagaimana jutaan anak lain di seluruh dunia, kenal betul pahlawan Power Rangers.

Tapi bukan hanya 3 F. Seorang cendikiawan di Indonesia menambah menjadi faith, fear, facts, fiction dan formulation (kebangkitan, ketakutan, fakta, fiksi, dan perumusan).

Ditengah-tengah arus perubahan besar dunia dan setelah sekian lama umat Islam hidup dalam sistem jahiliy itulah, kitakini tengah berupaya melakukan transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy guna membangun sebuah peradaban Islam. Oleh karenanya menjadi penting sekali diketahui apa saja tantangan dan hambatan yang akan kita hadapi, disamping bagaimana kemungkinan keberhasilan (prospect) dengan segenap faktor pendukung dari sebuah kerja besar yang merupakan kewajiban Islam yang utama guna menyelesaikan problematika utama umat Islam (qadiah al-muslimin al ula), yakni i’adatu alhukmi bi ma anzala allah  memberlakukan kembali hukum-hukum Allah.

Upaya transformasi ini dalam istilah Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ta’rif disebut sebagai dakwah li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah (untuk melanjutkan kehidupan Islam) karena kehidupan Islam yang pernah ada kini lenyap, tinggallah kehidupan orang-orang Islam yang melaksanakan aturan Islam sebagian dan meninggalkan sebagian besar yang lain. Dakwah melanjutkan kehidupan Uslam adalah upaya untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam.

Dua pilar kekuatan umat

Di tengah kemunduran yang demikian parah di segala bidang, (umat) Islam sesungguhnya masih memiliki dua kekuatan (strength) utama, yakni kekuatan pada ajaran dan sejarah.

Pertama, Islam sebagai ajaran yang genuine (asli) bersumber dari wahyu Ilahi tentu sangat kompatibel dengan struktur fisik dan kejiwaan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat, karena Islam memang diturunkan Allah untuk manusia. Pada diri manusia terdapat naluri beragama yang memerlukan pemuasan. Ketika kecenderungan itu bertemu dengan Islam, jadilah itu sebuah pertemuan yang sangat serasi.

Tidak hanya itu, Islam pula yang dapat memberikan cara pemuasan kebutuhan jasmani dan naluri lain dengan sebaik-baiknya serta mengatur hubungan (‘alaqat) antara individu dalam masyarakat secara harmonis, sedemikian sehingga cita-cita manusia bagi terbentuknya msayarakat yang adil, sejahtera dan tenteram akan tercapai.

Kedua, Islam bukanlah agama dengan segepok teori dan ilusi kosong tanpa kenyataan. Islam sebagai agama telah ada sejak 14 abad silam dan sebagai mabda’ telah pernah terujud secara faktual sebagai realitas historis selama berabad-abad di berbagai wilayah. Sejarah Spanyol tidak bisa ditulis tanpa menyebut peran Islam yang pernah memimpin wilayah itu sekitar 800 tahun. Begitu juga wilayah Balkan, Asia Tengah, Asia Selatan, bahkan juga Prancis Selatan.

Bukti-bukti keagungan peradaban Islam bisa didapatkan dalam manuskrip dan bangunan sejarah atau pada kenyataan sekarang dimana kendati sistem Islam telah hancur digantikan sistem lain yang mencoba mengeleminasi Islam dari kenyataan masyarakat (seperti sekulerisasi di Turki dan penindasan di Uni Sovyet), tapi ternyata kaum muslimin tetap eksis, bahkan sebagiannya masih memegang teguh kultur Islam (seperti terlihat pada ibu-ibu tua Bosnia yang tetap mengenakan kerudung, atau tampak pada pakaian wanita India).

Penerapan sistem selain Islam atas kaum muslimin ternyata memang tidak pernah berhasil. Kalau pun “berhasil”, pasti harus dilakukan dengan susah payah disertai dengan kekuatan senjata (seperti yang terjadi di Turki, juga di Uni Sovyet). Tapi itu pun ternyata tidak mampu memindahkan agama mereka serta menghilangkan akar sejarah kaum muslimin sepenuhnya. Terbukti, kendati umat Islam di Azerbaijan misalnya, hidup dalam sistem komunis dan selama itu mereka mengalami penindasan, ternyata mereka tetap muslim.

Masyarakat dengan sistem selain Islam tapi individu-individunya tidak sepenuhnya atau bahkan menolak sistem tersebut sedemikian sehingga pemikiran dan perasaannya juga campur aduk antara Islam dan non Islam, oleh Syekh M. Husain Abdullah (Mafahim Islamiyyah) disebut sebagai masyarakat ghairu mutamayyiz (tidak khas), yakni masyarakat yang tidak secara total mencerminkan suatu ideologi tertentu akibat tidak semua unsur pembentuk masyarakat, yaitu individu-individu, ide-ide, perasaan dan peraturan (afrad, afkar, nasyair dan nidham) berpangkal pada satu ide yang sama.

Masyarakat seperti ini, dikatakan Syekh Husain Abdullah tidak pernah stabil, sampai seluruh komponennya menyatu dalam satu ide (Islam, atau sama sekali bukan Islam). Itulah yang tengah terjadi pada seluruh negeri muslim sekarang ini. Penyatuan seluruh komponen penyusun masyarakat ke arah ide non Islam, memeng terus dilakukan dengan berbagai cara oleh para penguasa di negeri-negeri muslim. Tapi ternyata gagal total, karena upaya keras itu tidak mampu membunuh fitrah kecenderungan kaum muslimin kepada Islam sesuatu yang sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan.

Maka lebih sering terjadi karena sulitnya melakukan langkah itu penguasanya putus asa, keburu meninggal sebelum cita-citanya terwujud, atau malah penguasanya itu sendiri yang berubah. Yang lebih mudah dilakukan tentunya adalah mengubah mereka ke arah Islam (mengislamkan watak/tingkah laku orang Islam) karena itu berarti sekadar memanggil fitrah umat Islam itu sendiri.

Dengan dua kekuatan potensial ini, upaya transformasi sosial sebenarnya “sekadar” mengingatkan kaum muslimin akan ajaran agamanya dan sejarah peradaban Islam dimana nenek moyang mereka pernah hidup. Memang terdapat kendala serius pada kaum muslimin Indonesia. Mengingatkan mereka pada tradisi nenek moyang berarti mengembalikan mereka pada tradisi Hindu atau Budha. Di negeri ini, Islam memang belum pernah menjadi budaya. Kalau pun ada, itu lebih banyak merupakan akulturasi antara budaya Islam dengan Hindu atau Budha. Sedikit saja yang murni muncul dari Islam.

Prospek

Ada beberapa faktor pendukung prospek lajunya transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy di negeri ini. Diantaranya:

1.    Kondisi internasional

Dunia internasional setidaknya pada satu dasa warsa terakhir dipenuhi dengan berbagai gejolak.

Pertama, yang paling menonjol adalah kehancuran komunisme dan makin loyonya kapitalisme. Akibatnya, masyarakat dunia kini mengalami keguncangan ideologi. Sosialisme-komunisme telah lama hancur. Ideologi yang telah berkuasa di Uni Sovyet sekitar 70 tahun dengan radius pengaruh hampir mencakup sepertiga penduduk dunia di belasan negara satelit, tumbang bukan oleh siapa-siapa melainkan oleh para pengikutnya sendiri, di negeri sendiri yang selama waktu itu menjadi sentral kendali dunia dan pernah amat ditakuti.

Runtuhnya permerintahan komunis di Uni Sovyet diikuti oleh pemerintahan serupa di Eropa Timur yang selama ini menjadi sekutunya. Bahkan Uni Sovyet  kemudian hancur berkeping-keping menjadi beberapa negara merdeka yang lepas dari Moskow baik secara ekonomi, militer, budaya dan terlebih lagi secara ideologis. Terbukalah tirai yang selama ini menutup negeri itu. Dan segera kita tahu bahwa disana tinggal tidak kurang dari 50 juta kau muslimin di beberapa negara seperti Kazakhstan, Azerbeijan, termasuk negera kecil “oase Islam” Chechnya.

Kaum muslimin di sana ternyata memiliki sejarah panjang hidup dalam peradaban Islam jauh lebih lama dari kurun kekuasaan komunis itu sendiri. Kini mereka seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk.

Memang ada beberapa negara yang masih berusaha supaya tetap konsisten dalam mengikuti sosialisme-komunis, seperti Kuba. Tapi itu tak lebih hanya menunda kehancuran. Kuba kini harus menghadapi problematika dalam negeri yang sangat berat seperti kemunduran ekonomi, pengangguran, dan tekanan rakyat. Gelombang pengungsian besar-besaran rakyat Kuba ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, membuktikan hal itu. Rakyat disana agaknya sudah tidak betah lagi tinggal di negeri yang memang tidak menjanjikan apa-apa.

Serupa dengan Kuba Korea Utara juga menghadapi problematika yang kurang lebih sama. Sementara, Cina cukup cerdik. Untuk menghindari kebangkrutan terutama di bidang ekonomi, mereka segera melakukan liberalisasi. Jadilah Cina kini negara komunis dengan sistem ekonomi kapitalis. Negeri-negeri komunis kecil di sekitarnya seperti vietnam, kamboja malah sudah lebih dulu banting setir, menengok liberalisme.

Apakah itu semua menandai kemenangan kapitalisme? Orang sering bependapat bahwa musnahnya komunisme merupakan kemenangan kapitalisme. Pendapat seperti ini jelas keliru besar, oleh karena kapitalisme yang kini menjadi pemain tunggal di pentas dunia itu sesungguhnya hapir sama buruknya dengan komunisme. Keduanya merupakan ideologi  yang lahir dari materialisme, yang tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan, yang hanya memburu puncak-puncak kenikmatan keduniaan. Sekali pun yang satu menggunakan cara kolektivisme dan yang lain individualisme.

Di dalam komunisme terjadi penindasan manusia atas manusia. Sedang dalam kapitalisme terjadi sebaliknya. Secara faktual , ideologi sesat yang berasas naf’iyyah (manfaat) dimana nilai tertinggi bagi mereka adalah segala yang dapat memberikan manfaat material dan kenikmatan itu, terbukti makin tidak mampu membawa manusia kepada kehidupan sejahtera lahir dan batin. Kapitalisme diyakini juga akan mengalami gulung tikar dalam tempo yang tidak terlalu lama. Sekarang pun kita sudah melihat bagaimana kapitalisme di Amerika Serikat, yang dianggap paling segar, tengah mengalami situasi loyo, yakni dengan kecenderungan-kecenderungan yang makin mengkhawatirkan. Dari segi ekonomi, AS tidak lagi bisa dikatakan negara super kuat. Pengangguran meningkat.

Tidak sedikit pabrik (karena kalah bersaing dengan Jepang), terpaksa gulung tikar. Pada satu sisi, kapitalisme memang telah mendorong kemajuan material yang luar biasa, tapi untuk itu diperlukan biaya sosial yang sangat mahal. Watak kapitalisme yang eksploitatif menghasilkan ketimpangan ekonomi dan akhirnya juga ketimpangan sosial. Ditengah gemerlap kota New York teselip slump tempat mukim warga kota yang tersisih dari percaturan hidup yang ganas. Mereka tinggal di tempat yang kotor, tanpa air, listrik dan gas yang cukup. Alkoholisme, narkotika, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan kriminalitas lain adalah menu mereka sehari-hari. Tingkat aborsi sudah demikian tinggi. Penyakit AIDS juga makin mengancam Amerika.

Jepang, negeri penganut kapitalisme dengan kemakmuran yang demikian tinggi, kini tengah menghadapi problematika sosial yang tidak ringan. Diantaranya yang paling menonjol adalah dahaga spiritualitas. Kemakmuran ternyata tidak selalu membawa kebahagiaan (spiritualitas). Di tengah kegamangan hidup seperti itu, hadirlah sekte-sekte keagamaan murahan semacam sekte Aum, menawarkan ilusi. Anehnya, laku. Menurut kabar, kini terdapat tidak kurang 18.000 sekte keagamaan tumbuh di Jepang.

Dan tiap tahun bermunculan sekitar 1000 sekte keagamaan baru. Masyarakat Jepang yang dikenal sangat rasional, ketika sampai kepada masalah spiritual ternyata menjadi amat tidak rasional kalau tidak mau dikatakan amat dungu. Tapi itulah potret buah kapitalisme yang menghasilkan pribadi-pribadi yang pecah (split-personality); gemerlap secara material, kering secara spiritual. Bila sosialisme-komunisme sudah hancur, sedang kapitalisme makin limbung, dan diyakini akan segera menyusul saudara kembarnya, kemana lagi manusa akan mengadu? Bagi kaum muslimin jawabnya semestinya jelas: Islam.

Kedua, maraknya kezaliman atas umat Islam di berbagai tempat dan hipokrisi Barat atas setiap peristiwa di dunia sepanjang menyangkut Islam. Belum lepas kaum muslimin di Palestina dari penderitaan akibat teror Israel yang sudah berlangsung hampir setengah abad, meyusul saudara kita di Bosnia. Disana terjadi pembersihan religi (religic cleansing). Tragedi ini adalah pelanggaran HAM yang paling telanjang yang terjadi di depan hidung negara-negara Barat yang mengaku pendekar HAM.

Semua perundingan dan ancaman NATO atas Serbia adalah omong kosong Barat dan sandiwara murahan yang diperankan oleh aktor-aktor tak berperikemanusiaan. Kedzaliman paling mutakhir adalah penindasan kaum muslimin di Chechnya oleh rezim komunis Rusia. Di tempat lain kaum muslimin secara sporadis, seperti di Jammu Kashmir, Pattani, dan Moro Philipina, juga mengalami penindasan. Barat memang hipokrit. Hipokrisi Barat makin nyata melihat sepak terjangnya akhir-akhir ini.

Barat begitu peduli terhadap pelecehan HAM di Indonesia. Satu orang Marsinah, puluhan korban insiden Dili mereka ributkan. Tapi ratusan ribu orang tewas mengenaskan, puluhan ribu wanita Bosnia diperkosa di depan hidung mereka, mereka diam. Alih-alih memberi kesempatan pada Bosnia untuk membela diri secara wajar, ini malah diembargo. Perbuatan kejam Barat ini tak ubahnya mengikat tangan dan kaki Bosnia sambil membiarkan Serbia memukuli sepuasnya.

Bila AS dan PBB begitu tangkas mengambil langkah mengusir Irak dari Kuwait, tapi mengapa membiarkan Israel terus mencaploki tanah Palestina dan Serbia menggempuri Bosnia? Terakhir AS malah memveto sebuah resolusi (ingat hanya resolusi – bukan aksi) yang mengecam Israel atas rencana mengambil 53 hektar tanah Palestina. Barat menyerukan demokrasi tapi menghentikan kemenangan obyektif FIS di Aljazair. Dengan adanya kezaliman dan hipokrisi Barat di atas, semestinya dengan mudah menunjukkan kepada umat akan lemahnya kaum muslimin tanpa persatuan serta tabiat asli kafir Barat yang tidak ridha akan kemajuan Islam.

Ketiga, terbentuknya Eropa Bersatu. Seperti dimaklumi, beberapa waktu silam di Maastricht telah disepakati deklarasi bagi penyatuan secara politik, ekonomi dan militer 14 negara Eropa Barat. Agaknya mereka sadar bahwa di masa datang negara nasional tidak akan lagi mampu mengatasi persoalannya sendiri. Untuk itu diperlukan kesatuan dengan negara-negara nasional lainnya. Dan kini beberapa butir kesepakatan itu mulai diujudkan.

Diantaranya adalah dalam hal keimigrasian. Kendati baru sebatas 7 negara, disepakati visa salah satu negara bisa digunakan untuk memasuki 6 negara lainnya. Menjadi penting untuk disadarkan kepada umat, bila 14 negara Eropa tanpa argumen syar’iy saja dapat bersatu, mengapa kaum muslimin yang wajib secara syar’iy  bersatu di bawah satu kepemimpinan dalam daulah khilafah, tidak? Umat Islam dengan bodohnya malah lebih suka melanggengkan tradisi perpecahan. Untuk naik haji yang notabene pergi ke wilayah Islam sendiri saja misalnya, masih diperlukan paspor dan visa.

2.    Kondisi Nasional

Hal yang kurang lebih sama dengan pergolakan di dunia internasional, terjadi juga di sekitar kita. Dengan garis kemiskinan 500 rupiah, di Indonesia yang kapitalistik terdapat 28 juta orang miskin. Bila garis tersebut dinaikkan menjadi 1000 rupiah (sebab apa yang bisa diperbuat dengan 500 rupiah sehari), terdapat 120 juta rakyat miskin; 20 juta di kota, sisanya di desa. Menjadi pertanyaan besar, inikah hasil “pembangunan” selama 25 tahun terakhir? Ini penderitaan rakyat di bidang ekonomi. Di bidang hukum, rakyat makin ragu akan kebenaran hukum demi keadilan.

Sebab, kenyataan yang ada ada sepanjang hukum menyangkut rakyat kecil, keputusan acap mengecewakan (tengok saja kasus Kedung Ombo, kasus tanah Irian Jaya dan sebagainya). Semetara segelintir orang menikmati kekayaan luar biasa akibat hak-hak istimewa yang diperoleh melalui kolusi dengan birokrat. Fenomena konglomerasi dan monopoli mewarnai derap laju ekonomi Indonesia, seiring semakin lajunya pula ketidakadilan di segala bidang.

Belum lagi praktek ekonomi ribawi yang makin mencengkeram negeri berpenduduk mayoritas muslim ini. Kriminalitas dan pornografi semakin meningkat. Seks bebas dan perzinahan semakin menjadi hal lumrah. Maraknya fenomena generasi koplo adalah pertanda serius degradasi moral di kalangan remaja.

Semua itu menjadi bahan yang empuk untuk menunjukkan kerusakan sistem selain Islam dan keharusan umat Islam kembali kepada agamanya. Secara demikian, upaya transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy tidak terlalu sulit dilakukan.

Hambatan

Upaya transformasi sosial yang secara teoritis mudah dilakukan mengingat dua pilar kekuatan Islam dengan kondisi internasional dan nasional yang mendukung, secara faktual ternyata berhadapan dengan sejumlah hambatan. Diantaranya adalah:

1.    Sistem kufur dengan penguasa yang dzalim

Sistem kufur yang mengatur seluruh sendi kehidupan, membuat kaum muslimin hidup seperti dalam kubangan lumpur. Secara alami, siapa saja pasti ikut kotor. Hanya mereka yang berupaya keras menghindari dari kotoran dan membersihkan diri terus-menerus saja yang relatif sedikit terkena imbasnya. Ia mungkin tidak makan riba, tapi terkena debu riba; tidak suka alkohol, tapi dikeroyok pemuda yang habis minum alkohol; tidak pernah berzina, tapi terkena AIDS akibat darah yang ditransfusikan ke dalam tubuhnya telah terkontaminasi virus HIV.

Artinya, sistem yang buruk secara alami menghasilkan manusia yang buruk. Ini adalah hambatan terbesar. Setiap upaya transformasi menuju masyarakat Islamiy akan berhadapan dengan tembok besar berupa sistem jahiliyah dengan segenap infrastrukturnya hingga tingkat desa bahkan RT, yang mencengkeram bidang politik, ekonomi, pendidikan, pemerintahan, media massa dan sebagainya.

Secara praktis sistem kufur telah menghasilkan sistem hukum kufur dimana kaum muslimin sebagai rakyat mau tidak mau harus tunduk kepadanya. Sementara secara ideologi, sistem kufur dengan kemampuannya terus menanamkan pemahaman-pemahaman (cinta tanah air, pengabdian pada bangsa dan negara, kemustahilan menerapkan hukum salah satu agama mengingat masyarakat negeri ini plural dan sebagainya) ke tengah masyarakat. Hal ini tentu saja membius dan meracuni umat, menjadikan umat semakin teralienasi dari Islam.

2.    Media komunikasi massa
Tidak diragunak lagi ketangguhan peran media massa dalam pembentukan opini publik. Dengan kontrol yang demikian ketat. Sulit mengharap pada media massa yang ada, terutama TV untuk benar-benar berfungsi dalam pembentukan opini publik secara Islamiy. Yang baru dilakukan adalah memberikan porsi (kecil) untuk kajian atau acara keislaman. Sementara, sisanya yang lain lebih banyak untuk acara atau sajian yang tidak Islamiy. Hal ini sama saja menyiram sedikit air bersih ketubuh orang yang kotor, tapi membiarkan ia tetap di kubangan lumpur tadi.

3.    Pemimpin Islam yang terkotorkan

Menjadi tabiat umat mengikuti pemimpinnya atau orang yang ditokohkan. Upaya transformasi menuju masyarakat Islamiy semakin sulit dilakukan bila pemimpin-pemimpin Islam yang ada justru menjadi penentang yang paling keras upaya menuju tegaknya sistem Islam. Bahkan dia pula yang menolak mentah-mentah, misalnya pemberlakuan hukum Islam. Sementara, di saat yang sama ia malah mempropagandakan fikrah yang tidak Islamiy seperti mengangkat paham kebangsaaan seraya mengatakan kelompok Islam sebagai primordial.

4.    Kelemahan fikrah

Upaya transformasi menuju masyarakat Islam semakin berat dilakukan bila sedikit saja kelompok yang bekerja di bidang ini. Apalagi bila itu dilakukan tidak dengan konsentrasi penuh, karena terpecah menangani bidang lain yang menurut penilaiannya urgen. Bila demikian, ini tak ubahnya memasak air sepanci besar dengan hanya sebuah lilin kecil. Kapan masaknya?

Sementara, arah transformasi sosial umat juga terpecah. Setidaknya menjadi tiga kelompok :

Pertama, pro status quo (kelompok jumud). Kelompok ini menganggap sistem yang ada sekarang sudah final dan yang terbaik. Kalau pun ada kelemahan. Dikatakan hanya ekses dan dilakukan oleh oknum.

Kedua, kelompok reformasi sekuler. Menurut mereka, yang ada sekarang memang harus dirubah, tapi bukan menuju sistem Islam karena itu berarti memunculkan “Islam politis” yang tidak demokratis.

Dan Ketiga, adalah kelompok reformasi menuju tatanan Islamiy. Bagi mereka Islam bukan hanya agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur individu dengan tuhannya, tapi lebih dari itu mengatur juga hubungan antar manusia dalam masyarakat. Oleh karenanya Islam harus hadir sebagaimana mestinya. Pada kelompok ketiga ini juga terdapat beberapa varian.

Terpecahnya tubuh kaum muslimin menjadi tiga kelompok berkaitan dengan arah transformasi tersebut menunjukkan betapa kelemahan fikrah Islam di kalangan umat sudah demikian parah. Hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah, dimana setelah runtuhnya Khilafah Utsmani, secara fisik umat Islam terpecah menjadi puluhan negara, sedang secara intelektual mengalami apa yang disebut Dr. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai perancunan Barat (westoxciation).

Umat Islam bukan saja tidak mampu melakukan dialog secara seimbang dan mencounter sesat pikiran Barat, malahan terpengaruh dan tercerabut dari khasanah pemikiran Islam itu sendiri. Dicontohkan, bagaimana para ekonom muslim fasih melafalkan teori-teori sistem ekonomi kapitalis tapi asing terhadap sistem ekonomi Islam; kalau pun dipaksa berbicara tentang sistem ekonomi Islam, mereka hanya berputar-putar pada masalah zakat menganggap bahwa zakat bisa menyelesaikan segalanya. Lalu, di bidang politik para teoritikus politik muslim juga seperti “dosa” bila tidak melafalkan demokrasi.

Jadi pengaruh Barat sudah demikian jauh, bukan hanya menyangkut substansi pemikiran saja, tapi juga pada istilah-istilah. Yang paling parah adalah pengaruh paham nasionalisme. Paham ini demikian merasuk, sehingga setiap upaya transformasi masyarakat pasti dibaca dan dirancang dalam bingkai kebangsaan dan nasionalisme; atau paling jauh dalam bingkai demokratisasi. Padahal, ketika memulai pembicaraan dengan bingkai itu seketika itu juga kita telah meninggalkan Islam. Sebab, mana bisa Islam dirujukkan dengan paham kebangsaan dan demokrasi?

Kelemahan fikrah ternyata tidak hanya terjadi di kalangan awam atau intelektual didikan Barat, tapi juga terjadi di kalangan ulama atau aktifis gerakan Islam. Yakni, ketika para ulama juga tidak mampu mengemukakan fikrah Islam secara meyakinkan tentang sistem berbagai sendi kehidupan (politik, ekonomi, sosial). Jadilah Islam ditangkap sekadar ide di bidang ibadah dan akhlaq.

Sementara itu, di kalangan gerakan terjangkiti pula penyakit ”serba Islam” (ekonomi Islam, politik Islam, pemerintahan Islam dan jargon-jargon lain), tanpa mampu menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimana sistem ekonomi atau pemerintahan Islam itu. Walhasil, jadilah gerakan itu sekumpulan orang yang penuh cita-cita tapi tidak mampu mendefnisikan bentuk cita-cita itu sendiri secara gamblang. Bagaimana transformasi sosial ke arah Islam bisa dilakukan bila para penggeraknya sendiri tidak paham sistem masyarakat Islam?

5.    Kelemahan thariqah

Hambatan transformasi sosial menuju masyarakat Islamiy berikut adalah menyangkut metode (thariqah) menuju ke titik cita-cita. Ada cukup banyak orang atau kelompok yang mengininginkan terbentuknya kehidupan Islamiy, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya; atau karena tidak tahu bagaimana cara yang ditetapkan Islam, ia menentukan sendiri cara yang menurutnya benar.

Akibat tak tergambar bagaimana proses transformasi itu berlangsung, maka sering kita mendengar komentar terhadap cita-cita tegaknya masyarakat Islam sebagai “utopis”, “tidak mungkin” atau “bagaimana mungkin”, “apologia”, “dongeng”. Bila keraguan itu sebatas perasaan pribadi barangkali tidak terlalu masalah, tapi bila itu kemudian disebarluaskan, tentu menjadi kontra-produktif bagi upaya keras meyakinkan umat akan wajibnya menegakkan kehidupan Islam.

Dari sini, penting sekali bagi para pengemban dakwah untuk meneguhkan keyakinan diri bahwa kehidupan Islam pasti tegak.

Pertama karena itu diwajibkan Allah;
Kedua, terdapat sejumlah dalil yang menceritakan masa depan Islam;
Ketiga, secara rasional sistem yang terbaiklah (Islam) yang akan tampil.

Kenyataan masyarakat semestinya tidak dijadikan sebagai sumber (dalil) keyakinan, melainkan sebagai obyek bagi perubahan. Jadi salah besar orang yang menyandarkan keyakinannya pada realitas. Marx yang kafir saja tidak, apalagi umat Islam.

Tepat sekali pernyataan M. Husain Abdullah yang menyatakan bahwa para pengemban dakwah harus menghapus kata “tidak mungkin” dari dalam benak bagi tegaknya masyarakat Islam. Semua hal mungkin terjadi, bila Allah menghendaki.

Tantangan

Jadi apa yang harus kita lakukan dalam kondisi seperti tersebut di atas, guna mentransformasi masyarakat yang ada menuju masyarakat Islamiy? Secara ringkas langkah itu bisa diformulasikan: menonjolkan kekuatan dan mengeliminasi hambatan. Syekh Abdul Qadim Zallum (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir) menyebut yang pertama dan utama adalah perubahan pemikiran.

Dalam teori perubahan sosial mana pun juga, yang pertama harus terjadi adalah perubahan bahkan revolusi pemikiran masyarakat (al inqilab al-fikri). Inilah transformasi tahap pertama. Perubahan pemikiran ini bertujuan untuk menanamkan pemahaman umat akan ajaran Islam. Dan menjelaskan Islam pada umat, sama saja memanggil fitrah mereka berupa kecenderungan kepada kebaikan menurut pandangan Islam (hanifan musliman).

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah cara penjelasan yang bagaimana agar mudah dicerna oleh umat, menggugah akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan mereka, sehingga mereka sendiri menyadari bahwa kembali kepada Islam adalah suatu kemestian. Bila pemikiran yang benar telah tertanam ia akan menjadi filter efektif guna menyaring fikrah sesat yang berkembang deras di era globalisasi ini.

Bersamaan dengan itu, perlu pula dibersihkan debu-debu pemahaman yang tidak Islamiy. Selama pemahaman sesat itu masih ada, maka kesadaran Islamiy tidak akan sepenuhnya bisa diujudkan. Langkah ini bisa ditambah dengan memaparkan kenyataan empirik kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem sesat yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Syekh Taqiyyudin An Nabhani (At Takattul Hizbiy) salah satu tolok ukur keberhasilan kelompok dakwah adalah apabila dalam dakwanya berhasil menimbulkan amarah masyarakat akan kerusakan masyarakat dan keinginan untuk kembali kepada Islam. Pekerjaan ini memang tidak mudah, sebab pada saat yang sama penguasa dzalim secara sistemik dengan segenap perangkatnya (media massa, legalitas) terus menanamkan pemahaman tidak Islamiy, terkadang dengan menggunakan lidah tokoh muslim (para ulama), serta menjaga paham itu agar tetap dipeluk oleh rakyat.

Bila kita bekerja menanamkan Islam, sementara sistem yang ada justru sebaliknya, maka akan terjadi perang pemikiran. Menjadi tantangan bagi kita yang memiliki kualitas peluru yang lebih baik untuk memenangkan perang ini. Sebab secara sunnatullah, pemikiran yang benar akan dengan sendirinya menyingkirkan pemikiran yang salah. Yang salah tak ubahnya seperti sarang laba-laba (kelihatan canggih tapi ditiup sedikit saja berantakan).

Perlu dikembangkan kiat-kiat jitu dengan uslub (cara) dan wasilah (sarana) yang tepat berdakwah di tengah masyarakat modern sekarang ini teknologi komunikasi tidak perlu dihindari, bahkan semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan Islam. Perlu usaha sungguh-sungguh untuk menggunakan perangkat audio visual dan peralatan telekomunikasi canggih bagi kepentingan dakwah. Di era di mana kontak langsung antarpersonal semakin jarang dilakukan, penggunaan media untuk dakwah mutlak diperlukan.

Perlu dikembangkan pula sentra-sentra dakwah baru, seperi di kantor-kantor swasta dan pemerintah, hotel dan pabrik serta tempat-tempat konsentrasi masyarakat baru, melengkapi basis dakwah yang ada selama ini seperti masjid, majelis taklim, pesantren dan sebagainya. Dakwah harus pula mengantisipasi pertumbuhan lingkungan semacam kompleks-kompleks perumahan baru, termasuk kota-kota jadian, yang kebetulan lebih banyak dibangun oleh pengembang (developer) non muslim.

To be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top